Wednesday, March 18, 2009

Zaid; Cinta Itu Menggerakkannya

"Anda adalah seorang pemuda yang cerdas dan kami tidak meragukanmu", kata khalifah Abu Bakar kepada Zaid bin Tsabit.

Siapa tak kenal Zaid bin Tsabit, sang juru tulis Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam. Kedekatannya dengan Al-Qur'an mengantarkannya pada derajat ulama di kalangan shahabat. Setelah Rasulullah wafat, Zaid dijadikan rujukan utama jika ada yang ingin bertanya tentang Al-Qur'an. Karena kemampuan itu, saat Umar Bin Khatab menjadi khalifah, Umar pernah berfatwa, “Hai manusia, siapa yang ingin bertanya tentang Al Qur’an, datanglah kepada Zaid Bin Tsabit….”.

Di masa Abu Bakar Siddiq menjadi khalifah, Zaid menjadi ketua kelompok yang bertugas menghimpun Al Qur’an. Dan dimasa pemerintahan Ustman Bin Affan, ia menjadi ketua tim penyusun mushaf Al Qur’an. Begitulah, buah cinta Zaid pada Al-Qur'an menggerakkannya untuk menjadi ulama Al-Qur'an.

Kebesaran nama Zaid Bin Tsabit dan kedalaman ilmu yang dimilikinya menjadi sebuah kehilangan besar ketika tiba waktunya ia pergi menghadap Illahi Robbi. Kaum muslimin bersedih karena mereka kehilangan seseorang yang dihatinya bersarang ilmu Al Qur’an. Bahkan Abu Hurairah mengungkapkannya sebagai kepergian Samudera Ilmu. Begitulah Zaid Bin Tsabit dengan keluasan ilmu Al Qur’an yang ia miliki.

***

Tapi siapa sangka, pada Zaid kecil, tidak terpikir dalam dirinya akan menjadi ulama besar. Zaid kecil memikirkan cara lain untuk menjadi penegak panji-panji Allah. Di usianya yang baru 13 tahun, Zaid mendatangi Rasulullah yang kala itu sedang mengadakan persiapan perang. Zaid kecil datang membawa sebilah pedang, yang lebih panjang dari tinggi badannya, menemui Rasulullah.

Dengan penuh semangat dan percaya diri, Zaid kecil berkata kepada Rasulullah, "Saya bersedia syahid untukmu wahai Rasulullah. Ijinkan saya pergi berjihad bersama anda untuk memerangi musuh-musuh Allah, dibawah panji-panjimu". Rasulullah tertegun. Melihat bocah kecil penuh semangat ini, Rasulullah gembira dan takjub. Beliau menepuk pundak Zaid lalu berkata bahwa permintaan Zaid tidak bisa dikabulkannya. Zaid masih terlalu kecil untuk terlibat dalam peperangan.

Zaid yang tadinya datang menemui Rasulullah dengan semangat berapi-api dan penuh percaya diri, pulang dengan rasa kecewa. Zaid kecil pun menangis tersedu dan mengadukan hal ini kepada ibunya. Berharap bisa membantunya membujuk Rasulullah agar diperbolehkan ikut berjihad. Atas nama cinta. Ya, atas nama cinta.

Ibunda Zaid pergi menemui Rasulullah, mengajukan permohonan agar putra tercintanya diperbolehkan ikut berjuang dijalan Allah. Nuwar Binti Malik, ibunda Zaid, pun menghadap Rasulullah menyampaikan kelebihan Zaid kecil; hapal tujuh belas surah dengan bacaan yang baik dan benar, serta mampu membaca dan menulis dengan bahasa arab dengan tulisan yang indah dan bacaan yang lancar. Lalu Rasulullah meminta Zaid mempraktekan apa yang dikabarkan tentang dirinya oleh ibunya.

Rasulullah kagum, ternyata kemampuan Zaid lebih bagus dari yang disampaikan ibunya. Rasulullah meminta Zaid belajar bahasa Suryani dan bahasa Ibrani, bahasa orang Yahudi. Berita gembira itu disambut Zaid dengan suka cita. Kalau tidak bisa ikut berperang, Zaid kecil masih bisa memperjuangkan Islam dengan ilmu.

Lalu Zaid pun mempelajari bahasa Suryani dalam 17 hari, dan bahasa Ibrani dalam 15 hari. Dalam waktu singkat, Zaid menguasai bahasa itu. Setiap kali Rasulullah mendapat surat atau membalas surat kepada orang Yahudi, beliau meminta Zaid melakukannya. Di usianya yang sangat muda, Zaid menjadi orang kepercayaan Rasulullah, karena kemampuannya membaca dan menghapal Al-Qur'an. Rasulullah pun mempercayakan Zaid untuk selalu menuliskan wahyu yang turun kepada Rasulullah.

Semangat Zaid kecil berubah dari menghunus pedang di medan pertempuran, menjadi seorang yang mendapat amanah besar menjaga Al-Qur'an. Atas nama cinta. Ya, cinta itu menggerakannya. Dan zaid mendapat kedudukan sebagaimana para syuhada yang membela Islam dan gugur di medan pertempuran. Allah kariim. Semoga Allah subhanahu wata'ala merahmati dan memberi beliau tempat yang layak disisi-Nya.

Begitulah Zaid Bin Tsabit. Kecintaanya yang besar terhadap Islam, menggerakkannya untuk berjuang apapun jalan yang harus ditempuhnya. Semoga kita dianugerahi rasa cinta sebagaimana cinta Zaid bin Tsabit. Amiin. (ya2n)

No comments:

Post a Comment