Wednesday, January 23, 2008

VSilicon versus 'Raksasa' Intel

Seseorang pernah bilang begini (it's just a joke however), "Pak, kalo VSilicon ini berhasil men-develop chipset WiMax, Intel nanti protes ke Tuhan." Tanya kenapa??

Kalau kita coba search kata “wimax” di google maka salah satu yang akan keluar adalah kata Intel. Ya, Intel memang dikenal sebagai developer chipset WiMax paling maju saat ini. WiMax, menurut saya, akan menjadi promadona teknologi elektronika/telekomunikasi sampai beberapa dekade kedepan. Diperkirakan tahun 2010, teknologi ini akan mulai booming (walau dibutuhkan waktu kurang lebih 10 tahun sampai teknologi ini benar2 matang seperti WiFi saat ini).

Saya nggak akan ngebahas what is WiMax atau how WiMax works, terlalu membosankan (secara sudah menjadi makanan sehari-hari, huhuhu -_-'). Tinggal tanya ke om google atau lihat di wiki (selama infonya akurat) udah banyak yang ngebahas.

Cuma yang menarik bagi saya adalah: WiMax Intel nggak bisa masuk ke Indoneisa.

WiMax versi Indonesia.


Ceritanya, pemerintah (lewat badan standarisasi Postel mengenai regulasi teknologi telekomunikasi Indoneisa, bekerjasama dengan Ristek dan Depkominfo) berusaha agar teknologi WiMax ini mampu dikembangkan sendiri oleh Indonesia. Hal ini dikarenakan salah satunya, cost teknologi untuk men-deploy WiMax ini sangat tinggi. Mereka tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama ketika men-deploy teknologi 3G yang memakan (plus-minus) 30 triliun rupiah setahun (untuk ongkos lisesni, perangkat, dll.).

Kenyataannya, banyak pihak yang sekarang ini ingin men-deploy WiMax rata-rata terhambat oleh satu hal: biaya chipset yang sangat mahal. Karena untuk memesan sample saja harus membayar 500 juta rupiah, apalagi biaya lisensi per-tahunnya. Karena itu, solusi yang selalu dinanti-nanti adalah: Indonesia mampu membuat chipset sendiri dengan biaya yang super murah.

Dari sini kemudian tampil lah satu perusahaan kecil yang baru berdiri yaitu VSilicon. Dengan segala kemampuannya* berusaha mengembangkan chipset WiMax dan bersaing dengan chipset WiMax-nya Intel. Hanya dengan 15 orang engineer. Ini jelas nggak ada apa-apanya dibanding jor-jor-an yang dilakukan Taiwan untuk mengembangkan WiMax versi mereka sendiri.

Tak heran jika kemudian ada orang yang berceletuk, “Pak, kalo VSilicon ini berhasil men-develop chipset WiMax, Intel nanti protes ke Tuhan.” Secara kalo dibandingkan, Intel sudah menghabiskan biaya 3 miliar US dollar untuk mengembangkan WiMax, sedangkan Indoneisa? 3 miliar rupiah. Sama-sama 3 miliar siiih, bedanya (cuma) Intel pake US dollar, Indonesia pake rupiah hehehehe ^^.



Anyway, ada bebrapa hal yang mungkin terlewatkan dari benak kita. Indonesia tentu tidak akan mulai dari nol. Belajar dari Jepang, China, dan Korea. Mereka jarang meng-invent sesuatu tapi kenapa teknologi mereka bisa maju dan kadang menjadi leading-on-technology? Salah satunya karena mereka mau meniru lalu mengembangkannya, reverse engineering and innovation (hal lain adalah karena mereka mau kerja keras tentunya).

Satu hal lagi yang tidak boleh lupa. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Apa sih yang tidak mungkin bagi-Nya? (dan ternyata yang berceletuk tadi memang bukan orang muslim sih :P). Maksimalkan ikhtiar, sempurnakan tawakkal, kata Aa' Gym. Memiliki harapan dan impian itu gratis kok. Jangan lupa bahwa ada do'a. Do'a adalah senjata bagi setiap muslim. Tapi senjata itu pun bisa tumpul karena maksiat dan dosa. (kok jadi serius gini hehehe ^^). Ya wes ya, Ganbarimashou!!!

Keep On Fire!!
(jadi inget Wada-sensei ^^)

*membantig tulang, memeras keringat, 24 jam sehari 7 hari seminggu... hoho, berlebihan banget nggak sih.. ^^

Further reading:
[1] Kantor Berita Antara, "WiMax versi Indonesia"
[2] Detik.com, "Asia akan menjadi 'Raja' WiMax"
[3] Reuters, "Taiwan to spend $664 mln on WiMax development"

Related terms:
[1] Integrated Circiut.
[2] SoC (System-On-a-Chip).
Tuesday, January 22, 2008

Smangatt!!

PAU building 4th floor, rehat sejenak dari kerjaan full deadline..

smangatt!! (^o^)V

-recharging energy-
Sunday, January 20, 2008

Premanisme Sepakbola: Potret Bangsa Kita?

Sepakbola adalah olahraga yang paling populer di Indonesia, sangat populer. Kita bisa mengingat dengan jelas, bagaimana euforia rakyat menikmati Piala Asia* beberapa waktu lalu. Ketika timnas Indonesia mampu menaklukkan Bahrain, penonton di stadion Gelora Bung Karno tiba-tiba membludak. Saking semangatnya sampai mereka rela menginap semalam di luar stadion karena tidak kebagian tiket. Bahkan susah dikenal khalayak bahwa ciri khas persepakbolaan Indonesia adalah: adanya sporter yang antusias, impulsif, dan kadang cenderung anarkis. Kalau nggak ada itu, bukan Indonesia namanya.

Sayangnya, “premanisme” dalam sepakbola justru berbanding lurus dengan bertambahnya penonton sepakbola. Justru dengan adanya rame-rame, kerusuhan antar suporter, perusakan stadion itulah yang membuat penonton semakin banyak. Aneh bukan? Apakah ini potret bangsa Indonesia yang suka berbuat anarkis dan premanisme? Ditambah lagi berbagai kekisruhan dalam internal PSSI. Mungkin baru kali ini kita mendengar komite persepakbolaan negara dipimpin seseorang dari balik jeruji?? atau mungkin baru kali ini pelatih yang mempelopori untuk memboikot liga, justru diangkat jadi pelatih timnas??

Walhasil, muncul lah keputusan kontroversial yang dijatuhkan di kubu Arema Malang setelah terjadi kerusuhan 2-3 hari yang lalu. Sampai-sampai teman saya mengomentari, “Wah, akhirnya liga Indonesia disiarkan juga di ESPN*, tapi berita kerusuhannya.” Huehehe.. Ditambah lagi pemain asing bukannya memberikan contoh, tapi justru kerap menjadi biang kerusuhan.

Kalau kita berkaca pada keadaan persepakbolaan Indonesia jaman tahun-tahun keemasan di kancah Asia, seharusnya kita malu. Saat ini kita kalah dengan Vietnam yang beberapa waktu lalu menjadi tim underdog. Apalagi dengan Thailand. Kalau diistilahkan, mereka berlari kita berjalan.

Ok lah, mungkin ada yang bilang, “Banyak hal lain yang lebih perlu untuk dibenahi selain sepakbola.” Walaupun ada yang bilang juga, “Sepakbola bisa dijadikan sarana strategis mengangkat posisi bangsa di mata Internasional.” Tapi coba perhatikan lebih jauh, siapa yang membiayai tim-tim sepakbola Indonesia? Pemda alias APBD 'kan? Darimana APBD diperoleh? Dari rakyat 'kan? Artinya ini juga menyangkut kepentingan rakyat.

Kesimpulannya, premanisme sepakbola -baik di lapangan maupun di balik layar- harus dibenahi. Kalau memang bikin anarkis, mungkin sebaiknya pemda menghapus anggaran tim sepakbola daerahnya untuk dialokasikan kepada yang lebih penting. Kalau memang manjadi biang kerusuhan, jangan pakai lagi pemain-pemain asing itu. Kalau memang sedang bermasalah, lepaskanlah jabatan di PSSI-nya. Tegakkan disiplin mulai dari pemain dan wasit (sangsi tegas bagi praktek suap-menyuap).

Dan yang lebih penting lagi... jangan kotori sportifitas sepakbola. Mari kita mulai dari diri sendiri sebagai pecinta sepakbola, mulai dari permainan-permainan kecil antar kita, bermain dengan fair dan menyenangkan. Sepakbola rakyat seharusnya bisa dijadikan sarana refreshing, bersosialisasi, sekaligus meningkatkan kebugaran. (Misalnya, dijadikan agenda olahraga rutin perusahaan. Hmm.. gimana kalo sebulan sekali di Sabuga... Lho? Kok malah nyangkut2 kesini hehe.. ^^).

“We Love Football!!”

*Piala Asia 2007 diselenggarakan di 4 tempat: Indonesia, Thailand, Malaysia, dan Vietnam.
*ESPN, saluran TV internasional khusus olahraga.

Gambar diatas diambil dari sini dan diambil pas futsal anak2 VS di Sabuga (siapa nih yang moto kok hasilnya gelap semua, huhuhuhu..)
Monday, January 14, 2008

Saatnya Prajurit Tua Lengser Keprabon

Di tengah-tengah berita sakitnya Pak Harto dan juga kasak-kusuk pilpres 2009, jadi inget kata-kata “lengser keprabon”*. Pilpres 2009 menandai sudah satu dekade bangsa ini memasuki era reformasi. Entah reformasi menuju perbaikan atau malah perjelekan, silakan Anda nilai sendiri. Yang jelas bangsa ini harus membayar mahal lewat tragedi semanggi 1, semanggi 2 dan trisakti.

Seperti biasa, dengan ciri khas hangat-hangat-tahi-ayam-nya, publik mulai rame meperbincangkan pemilu 2009. Beberapa calon sudah memberikan sinyal ingin maju dalam pilpres mendatang seperti SBY, Sutiyoso, Megawati, dan Amien Rais. Saya ini bukan ahli politik yang akan mengomentari mereka, nggak menarik, cuma saya tertarik dengan apa yang diucapkan Pak Amien Rais beberapa waktu lalu saat menggelar acara di kota Padang, “Kalau nggak ada calon-calon muda, terpaksa prajurit tua turun gunung”.

Saya sendiri tidak tahu kenapa nggak ada capres dari kalangan pemuda. Apa sih batasan seseorang dikatakan pemuda? 20 tahun? 30 tahun? 40 tahun?? 50 tahun??? 60 tahun???? Yang jelas, saya melihat dari satu sisi, adanya semangat untuk berubah/dinamis. Orang tua cenderung berkeinginan untuk tetap pada kondisi tertentu karena sudah merasa nyaman. Orang muda lebih petualang, sehingga berpikiran kalau ada yang lebih baik, kenapa nggak dicoba.

Sekarang sudah saatnya para pemuda bangsa ikut andil. Bukan hanya sebagai pendobrak yang siap kapan saja untuk menurunkan penguasa, tapi lebih dari itu, menjadi tonggak dalam pemerintahan. Dan saya katakan (radikal-radikalan lagi =D) ganti semua “orang tua” dengan “orang muda”, bahkan sampai ke akar-akarnya. Kalau perlu pensiunkan semua “orang tua”, tentu dengan jaminan uang pensiun yang layak dijadikan tumpuan hidup.


Bukan tanpa alasan. Dari sekian banyak cerita teman-teman saya yang bekerja di kantor pemerintah, hampir semuanya mengeluh akan ketidakidealan keadaan seperti yang selalu mereka gembar-gemborkan saat mahasiswa, baik melalui demo, orasi, dan sebagainya (kecuali yang sejak mahasiswa pun sudah “tidak ideal” ^^). Betapa tidak, masuk ke lingkungan pemerintah, mereka terikat dengan sistem dan culture yang tidak kondusif.

Sebagai contoh, ada seorang teman yang masuk ke Bappeda*. Dia mengeluh karena mendapat tugas untuk membuat proposal peminjaman utang luar negeri, yang selama ini menjadi bahan pereemoannya. Ada lagi teman yang mengeluh karena ketidak profesionalan menajemen, dia yang notabene lulusan teknik ditempatkan pada pos sosial. Solusinya sudah dicari, karena sudah menjadi sistem "tua" yang membudaya.

Saat ini kita butuh sosok pemuda yang mau berubah, dinamis, bergerak. Paling tidak kita butuh sosok yang mampu menjembatani ide-ide perubahan. Mengakomodasi ide-ide brilian penuh tantangan. Nyatanya, kebanyakan orang baik akan didepak dari peredaran sebelum masuk ke tataran manajer atau pengambil kebijakan.

Sebagai ilustratsi, ada beberapa orang "tua" dengan budaya korupsi dalam posisi penting pada sebuah perusahaan atau organisasi. Lalu datang seorang yang "bersih" ingin merubah budaya korupsi itu. Hal yang terjadi kemudian, dan ini sudah menjadi kewajaran umum, adalah orang tersebut akan didepak keluar. "Enak aja!". Lambat laun, idelalisme yang dijunjung saat masih "muda" akan ikut larut dalam alunan budaya "tua".

Kalau mau cepat (radikal), ganti semua "orang tua" dengan "pemuda". Baik itu presiden, para pejabat, birokrat, dan yang lainnya. Apakah kita tidak bosan melihat mereka yang adem ayem, atau yang senyam senyum seperti boneka, atau yang asal ceplas ceplos, atau apalah saya kurang bisa menggambarkan. Atas semua itu, semoga idealisme pamuda masih tersisa di negeri ini, keep moving forward, to a better place.

-to be concluded-

*Lengser = turun, keprabon = kekuasaan. Kata yang berasal dari bahasa jawa ini mulai dikenal saat Pak Harto turun tahta tahun 1998.
*bappeda = Badan Perencanaan Pembanguunan Daerah