Saturday, January 31, 2009

Bicara Teknologi

Daftar konferensi-konferensi internasional terkait bidang VLSI (Very Large Scale Integrated circuit), proceedingnya bisa dijadikan referensi yang handal.

1. ISSCC (International Solid State Circuits Conference)
2. ICCAD (International Conference on Computer Aided Design)
3. ISPLPED (International Symposium on Low Power ElectronicDesign)
4. ITS (International Test Symposium)
5. DAC (Design Automation Conference)

Kapan ya bisa ikut ngirim paper ke konferensi-konferensi itu? hohoh. Ya, pelan-pelan, ambil pelajaran dari project dan product yang udah dibuat. Tapi susah juga ya, tentunya paper atau proceedingya adalah pada cutting-edge technology. Artinya lebih banyak dijamah oleh riset-riset daripada industri, dimana mereka menjamah area-area yang belum pernah dijamah orang. Ya tentu inisiasi dari industri, tapi ujung tombaknya riset, baik riset perusahaan maupun kampus.

Oiya, agak nggak nyambung dengan informasi diatas, nggak papa. Ada obrolan menarik tentang cutting-edge technology ini. Kebetulan waktu itu saya ngobrol iseng dengan dua orang yang sudah lama berkecimpung di industri teknologi di Jepang dan Perancis. Beruntung bisa dekat dengan mereka.

Nah, tahukah bedanya Jepang dengan negara-negara Eropa dalam hal teknologi ? Jepang terkenal dengan paham Kaizen-nya. Yaitu berorientasi pada proses. Mereka biasanya memahami sesuatu dengan mencobanya langsung. Kalau gagal, ambil pelajaran darinya, perbaiki caranya, lalu kerjakan lagi. Begitu terus sampai berhasil. Oleh karena itu, aset mereka ada pada orang, bukan sistem.

Bagaimana dengan Perancis? Negara ini dikenal sebagai penghasil para filusuf. Mereka lebih senang dengan konsep. Memikirkan sesuatu sampai bener-bener matang, lalu baru dibuat.

Ada kelebihan dan kekurangan masing-masing. Cara Jepang kelebihannya adalah kecepatan. Mereka bisa membuat sesuatu dengan cepat. Bisa jadi orang Perancis bermain di cuting-edge, mematangkan konsepnya, tapi pada akhirnya setelah konsep matang, orang Jepang sudah selesai membuat produknya. Kelebihan cara Perancis adalah kematangan sistemnya. Kesalahan jarang terjadi karena mereka mengerjakannya dengan sangat teliti dan hati-hati, dan kematangan sistem lebih baik daripada cara Jepang.

Bagaimana dengan Indonesia? Well, nobody knows karena industri elektronika di Indonesia belum terwujud sepenuhnya. Kebanyakan adalah sistem integrator atau perakit komponen. Yang jelas, Indonesia tentu memiliki sistem kerja khas nya sendiri. Ada yang bilang, sistem Indonesia adalah: gotong-royong. Hehehe.

Anak-anak, kreatif, imajinatif



Dulu kupikir adikku nggak menuruni bakat kakaknya, bakat gambar :p Soalnya pas kulihat hasil gambar-gambar di buku gambarnya emang ... jelek ... eheheh :p Dia malah lebih seneng gambar naruto dan sejenisnya -_-! (keknya bu guru SD nya bingung pas ngasih nilainya, kok gambar kartun semua, ehehehe). Tapi kalo udah pake kompi, ternyata gambarnya kreatif juga, nyeleseiinya juga lebih cepet. Iya, lah, tinggal klik-klik aja :D. Nih, lihat hasilnya, lucu-lucu kan? :D



Tapi kalo dipikir-pikir susah juga loh, ngegambar pake kompi. Ga bisa luwes megang mousenya. Kayaknya adikku ni bakat kalo di kasih kerjaan bikin animasi flash, huehuehe. Dia juga doyan ngegame, tapi biasanya boleh ngegame dengan satu syarat, PR buat besok harus udah selesei. Mungkin malah doyan bikin game pake flash ntar :p. Yang jelas, masa anak-anak, penuh kreatifitas dan imajinasi. Tul gak?
Sunday, January 18, 2009

Donor Darah ke Palestine, Mubadzir?

Waktu donor darah ke PMI Bandung kemarin, tiba-tiba saya diajak ngobrol sama dokternya waktu periksa tekanan darah, "Mas, tahu nggak, berapa biaya mengirimkan donor darah ke Palestina?". "Waduh, mana saya tahu, dok. "Biayanya 1 kantongnya sekitar 3 juta sampai 4 juta rupiah. Mahal nggak tuh?". Mahal, dok. "Kalau sudah begitu, mubadzir nggak kira-kira itu?".

"Heh? Hmm.. ya nggak mubadzir lah, dok".

"Kenapa?", tanya dia. "Bayangkan saja, itu hanya satu kantong, bagaimana kalau ratusan atau ribuan kantong? Sudah habis anggarannya, mubadzir kan?".

Hmm... Gitu ya.

"Ini hanya ngobrol-ngobrol aja nih, sesama orang nggak ngerti.", tambahnya, "Kalo sudah gitu, hukumnya gimana? Apakah makruh, jadi haram?".

"Ya, nggak lah, dok, kalo jadi haram.", tukasku.

"Lho, iya sekarang bagaimana, kita mendahulukan tempat sendiri atau Palestina?".

"Hmm.. Sebenarnya Palestina butuh bantuan kita nggak sih dok?."

"Ya nggak tahu juga itu riilnya bagaimana, tapi ya namanya perang ya yang jelas butuh".

"Tapi memang sih dok, kalau ada tetangga kita yang sedang butuh sekali, ya jelas didahulukan didekat sini. Saya tahu sendiri dok, ibu pernah transfusi darah, dan waktu itu katanya PMI sedang kehabisan stok. Kalau sudah begitu, prioritas disini."

Dokter manggut-manggut.

"Memang disini sekarang sedang kehabisan stok dok?"

"Oooo.. tentu saja. Disini setiap hari kehabisan stok?."

Masya Allah. Begitu, ya. Dengan semangat membara kuceletuk sambil bercanda, "Kalau begitu saya boleh donor tiap hari ya dok??".

"Haha, boleh aja (bercanda juga-ed), mau kusedot berapa kali hari ini sampai kering?".

Hahaha, dokter bisa ajah. Yup, jadi semangat. Kalau memang bisa donor darah sesering mungkin, mengapa tidak? Toh darahku tidak akan habis sampai kering seperti kata dokter. Donor paling cepet jaraknya dalam 70 hari, katanya. Hmm... Insya Allah, dok. Yuk, mari kita biasakan donor darah, peduli sesama. Oiya, PMI tempat donor darah untuk Bandung ada di jalan Aceh, dekan GOR Siliwangi.

ps. maaf, gambarnya nggak kreatif, hehehe, itu gambar peta jalan Sumatera, kuambil dari sini.


Kisah Sebuah Negeri yang Terluka

Palestine, speechless rasanya, marah, sakit, geram, geregetan, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Mungkin itu kata-kata yang pas untuk menggambarkan keadaan ummat Muslim dunia saat ini. Melihat saudara-saudara kita dikepung, diblokade, lalu digempur dari udara, darat, dan laut. Tak peduli apakah pejuang Hamas, warga sipil, ibu-ibu, ataukah anak-anak, semua dibunuh. Tak peduli, apakah markas militer, rumah sakit, atau Masjid, semua digempur.

Ahad kemarin 18/01, ada acara kesaksian seorang ketua relawan BSMI (Bulan Sabit Merah Indonesia), atau yang lebih dikenal dengan MERC di Masjid Salman (Kampus ITB). Banyak hal yang dia ceritakan. Dari perjuangannya untuk menyalurkan bantuan ke Gaza.

Untuk memberikan pertolongan saja sangat sulit, karena Gaza diblokade Israel. Menurut dia, ada dua jalan yang bisa mereka tempuh. Pertama, lewat Yordan, masuk ke Ramalah, lewat Yerusallem. Kedua, lewat Rafah, perbatasan Mesir-Palestine.

Dari jalan pertama, diputuskan bantuan dikirimkan lewat Yayasan raja Yordan. Tidak bisa langsung ke Gaza. Mereka harus memastikan betul-betul bahwa bantuan bisa sampai tujuan. Urusan mereka diperlancar dengan disertainya rombongan menteri luar negeri Republik Indonesia. Mereka mengungjungi gudang tempat penyimpanan obat-obatan, makanan, dan barang bantuan lainnya.

Selain lewat Yordan, mereka berencana untuk mengirim langsung BSMI ke Gaza lewar Rafah. PBB, dalam hal ini sebagai lembaga internasional tertinggi ikut campur dalam urusan penyaluran bantuan ke Gaza. Mereka menyarankan tim BSMI untuk memberikan bantuan ke komite PBB untuk penyaluran banutan Palestine. BSMI menolak. Mereka tidak ingin bantuan mengendap lebih lama lagi.

Sekali lagi, dengan bantuan tim menteri luar negeri, pak Hasan Wirayuda, mereka menemui pemerintah Mesir setempat. Lalu mendapatkan izin untuk memasuki Rafah, perbatasan Mesir-Palestine. Mereka lalu membeli Ambulans untuk merawat para korban Palestine yang dilarikan ke Rafah. Mereka berhasil menyalurkan bantuan itu lewat Rafah.

Ada satu catatan penting yang disampaikan beliau, bahwa berbeda, antara para pemerintah Liga Arab dengan masyarakat Arab (Timur Tengah). Walau Mesir dan Yordan, misalnya, terkesan tidak proaktif terhadap masalah Palestine, tapi warga mereka sangat bersemangat dan ber-api-api untuk membela saudara-saudara mereka di Palestine. Allahumma a'izzal Islaama wal Muslimiin.

Teringat akan sebuah nasyid yang pernah kami gubah waktu masa-masa SMA dulu. Lirik ini dikarang oleh Tyas. Karena, group nasyid kami, Iqoss, keburu bubar, nasyid ini belum sempat kami rekam dalam album. Tapi Alhamdulillah belakangan Fathul Jihad mengalbumkannya. Dan disertakan dalam buku "Jalan Cinta Para Pejuang".

Kisah sebuah negeri yang terluka
Dicabik nafsu angkara murka
Kisah sebuah negeri yang berduka
Dalam cengkeraman durjana

Namun janjinya tak akan pernah sirna
Walau berlalu seribu masa
Nisacaya akan terbit cahaya
Dalam kelamnya dunia

Filistine .. Filistine .. Filistine ..
Filistine .. Filistine .. Filistine ..

Dunia Islam kini tengah terbakar
Padamkan sejauh jangkauan tangan
Biarkan asa meraih kejayaan
Untuk kemenangan ... atau kesyahidan

IQOSS (terinspirasi dari Izzuddin Al-Qossam, brigade mujahid Hamas).

Penasaran dengan reaksi di berbagai negara, saya tanya temen-temenku di luar. Komentar temenku di Jepang, "Jepang nggak peduli ama berita-berita begituan, mereka lebih seneng berita makan-makan dan lelucon". Komentar temenku di Amrik, "Disini jadi berita besar, tapi beritanya adalah, bahwa Amerika mendukung agresi Israel". Tapi masyarakat Amirk di Virginia tidak terlalu rasis. Mereka toleran, berbeda dengan pemerintahnya. Walau begitu, di sebagian negara bagian lainnya rasisme itu ada. Profesor temenku sendiri seorang Yahudi. Kata dia, Yahudi moderat. Banyak mahasiswanya yang beragama Islam, bahkan dua orang dosen adalah Islam. Yah, paling tidak mereka, masyarakat Amerika akan sadar, lambat ataupun cepat, bahwa teroris sebenarnya bukanlah orang Islam, teroris sebenarnya adalah Israel dan militer Amerika.