Saturday, November 14, 2009

Patriotisme Yang Dibenturkan

Belum lama ini saya mendengar berita dari NPR (npr.org) yang kebanyakan mengulas peristiwa insiden penembakan di markas tentara AS - Fort Hood, Texas - oleh seorang Major bernama Nidal M Hasan. Huff.. Saya hanya bisa menghela nafas. Warga Muslim AS kontan mengeluarkan sikap kecaman atas tindakan tersebut, agar tidak berbuntut pada hal yang tidak diinginkan. Yaitu munculnya sikap anti-Muslim, disaat AS, dengan presiden barunya, Obama, sedang berupaya memperbaiki hubungan dengan Muslim dunia.

''Insiden ini sangat mengerikan," kata Imam Elsayyed Shaker, imam besar Masjid Dar Al-Hijrah di Falls Church, Virginia. Belasungkawa juga diucapkan Iqbal Khaled, wakil direktur AAMS Islamic Center di Virginia. ''Kami merasa sangat sedih,'' ucapnya, seperti yang dilansir oleh Republika Online.

Bagaimanapun juga, tindakan ini tidak dibenarkan. Peristiwa ini hanya akan berimbas pada munculnya sikap atipati rakyat AS terhadap komunitas warga Muslim disana. Spekulasi pun bermunculan seakan ingin memicu wacana menyudutkan warga Muslim disana, yang notabene satu agama dengan pelaku insiden penembakan Fort Hood tersebut.

Patriotisme yang dibenturkan

Saya sangat sulit membayangkan jika suatu ketika, harus berhadapan langsung dengan saudara-saudara kita sesama Muslim di medan pertempuran, hanya karena tuntutan pekerjaan. "Contradiction of being a Muslim and serving in an army that is fighting against his own people."

Mungkin ketika seseorang memilih jalur karirinya sebagai tentara, awalnya punya motivasi tinggi untuk membela tanah-airnya, membela negerinya, menjadi seorang patriot, pahlawan, atau
someone who became a hero to his country, sah-sah saja. Tapi siapa sangka patriotisme itu suatu saat akan diuji, siapa yang lebih engkau pilih, patriotisme kah? Atau idealisme?

Ah, saya berharap saudara-saudara kita yang berada di posisi itu diberi kekuatan untuk tetap menjunjung tinggi idealisme mereka sebagai seorang Muslim. Ingatlah saya akan cerita teman-teman tentang situasi kerja di tempat mereka bekerja. Kebetulan mereka bekerja di perusahaan asing, perusahaan non-Indonesia. Kadang teman-teman saya harus merelakan idealisme mereka sebagai seorang Muslim hanya karena tuntutan pekerjaan. Bagi mereka itu pilihan yang sulit.

Dan itu
tak hanya berlaku di pekerjaan loh. Di organisasi pun ada kalanya begitu. Kadang kita diuji untuk memilih antara mengikuti peraturan organisasi atau tetap dalam idealisme. Misalnya, kalau dalam organisasi, ketika ada acara malam yang mengharuskan ikhtilat, campur-baur-nya laki-laki dan perempuan tanpa mengindahkan kaidah syar'i, mana yang engkau pilih?

Hidup memang sering berbenturan. Kita harus akui itu. Seperti yang saya bilang di awal, saya sendiri tak bisa membayangkan berada di posisi Major Nidal M Hasan, ketika harus berangkat ke Iraq, berposisi sebagai musuh warga Muslim Iraq disana. Saya hanya bisa bersyukur bahwa Allah menjauhkan diri saya dari benturan-benturan idealisme semacam itu. Saya hanya bisa bersyukur, dan mudah-mudahan terus bersyukur, untuk masih berada di tubuh yang sama, merasakan pahit dan sedih yang sama, "Perumpamaan orang-orang beriman dalam hal saling mencintai, mengasihi, dan saling berempati bagaikan satu tubuh. Jika salah satu anggotanya merasakan sakit maka seluruh tubuh turut merasakannya dengan berjaga dan merasakan demam." (HR. Muslim)

Terakhir saya tuliskan,
Ketika "patriotisme itu dibenturkan",
Mari do'akan semoga Allah memberi kekuatan. (ya2n)


Tempat Kelelahan

Anak kecil ingin jadi besar dan tua,
Sedangkan orang tua ingin muda kembali,

Orang yang tidak punya pekerjaan mencari-cari kerja,
Sedang mereka yang punya kerja merasa jenuh,

Para pemilik harta merasa kepayahan,
Orang miskin juga merasa kesusahan,

Seseorang merasa susah karena kalah,
Tiada pula yang menang merasa bahagia,

Apakah mereka bingung dengan takdir,
Ataukah mereka yang membingungkan takdir?

Abbas Mahmud Al-Aqqad dalam sya'ir-nya.



Menyikapi Musibah

Musibah atau bencana adalah takdir yang telah ditetapkan Allah pada makhluk-Nya. Takdir itu adalah hikmah dan ketetapan Allah yang tidak bisa dihindari. Allah subhanahu wata'ala berfirman, "Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah." (QS. Al-Hadid : 22)

Allah menjelaskan hal itu supaya manusia tidak berputus asa dan terus berharap pada-Nya, dan supaya manusia tidak terlalu bergembira dan berbesar hati atas apa yang diraihnya, "(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri." (QS. Al-Hadid : 23)

Manusia berbeda-beda sikap dalam menghadapi musibah ini. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menyebutkan ada empat tingkatan sikap seorang menusia ketika menghadapi musibah. Sebagai seorang yang mengaku beriman kepada Allah, tidak selayaknya kita menyikapi musibah dengan sikap ke-empat. Apakah itu? Mari kita simak ulasan berikut.


Bersabar.

Sikap pertama adalah bersabar. Sebagaimana digambarkan oleh seorang penyair dalam syairnya,

Sabar itu memang seperti namanya
Pahit kalau baru dirasa
Tapi buahnya yang ditunggu-tunggu
Jauh lebih manis daripada madu

Sikap sabar ini berarti masih merasakan sakit dan pahit yang diakibatkan oleh musibah, tetapi berusaha untuk tetap tabah dalam menghadapinya. Masih ada perasaan tidak senang atas ditimpakannya musibah, tetapi menjaganya untuk tidak marah. Tingkatan ini adalah tingatan terandah bagi seorang Muslim. Allah ta'ala berfirman, “Bersabarlah kalian. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (QS. Al Alnfaal : 46).

Ridha.

Sikap kedua adalah ridha. Berbeda dengan sabar, ridha adalah sikap dimana seseorang sudah tidak merasakan pahit, sakit, sedih, ataupun hal-hal lain yang untuk orang lain adalah hal yang tidak mengenakkan. Ridha adalah, ada atau tidaknya musibah itu sama saja, tidak ada beban. Tingkatan ini lebih tinggi dari bersabar.

Bersyukur.

Sikap ketiga adalah bersyukur. Dan ini adalah tingkatan tertinggi seseorang dalam menyikapi musibah. Dengan ditimpakannya musibah, justru dia bersyukur karena menyadari bahwa hakikat musibah adalah bahwa Allah ingin mengingatkan hamba-Nya atas kesalahan-kesalahan dan dosa yang dia lakukan, bahwa musibah adalah salah satu jalan agar dosa-dosanya terhapuskan, bahwa musibah mengingatkan manusia untuk introspeksi diri dan berusaha untuk memperbaiki diri.

Tingkatan tertinggi ini adalah, dengan adanya musibah justru membawanya kepada yang lebih baik. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tiada sebuah musibah pun yang menimpa seorang muslim, kecuali pasti Allah hapuskan (dosanya) dengan sebab musibah itu, bahkan sekalipun duri yang menusuknya.” (HR. Bukhari - Muslim).

Marah.

Sikap keempat adalah marah, dan ini adalah sikap yang tidak selayaknya ada pada setiap Muslim. Marah dibagi lagi menjadi tiga. Pertama, marahnya dismpan dalam hati, yaitu dengan nge-grundel, mengeluh, dan semacamnya. Kedua, marahnya diungkapkan, yaitu dengan ucapan-ucapan kecewa, cercaan, dan semacamnya. Ketiga, marahnya dilampiaskan dengan perbuatan, yaitu dengan menampar-nampar pipi, merobek-robek pakaian, dan semacamnya.

Kesemua hal itu adalah tidak boleh dilakukan dan tidak mungkin dilakukan oleh orang beriman. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Di antara manusia ada orang yang menyembah Allah di pinggiran. Apabila dia tertimpa kebaikan dia pun merasa tenang. Dan apabila dia tertimpa ujian maka dia pun berbalik ke belakang, hingga rugilah dia dunia dan akhirat.” (QS. Al Hajj: 11).

Ada pertanyaan: Bagaimana kalau terkadang masih muncul perasaan marah? (na'udzubillah) Jawabnya: itu pertanda bahwa imannya belum sempurna. Jadi, yuk, kita perbaiki iman, dan jangan lupa minta pertolongan kepada Allah agar dimudahkan jalannya. (ya2n)

* sepenggal oleh-oleh dari kajian rutin Sabtu sore di Masjid Al-Muhajirin Sadang Serang



Friday, November 13, 2009

Aku Mengadu Atas Buruknya Hafalanku

Imam Syafi'i bercerita dalam sya'ir:

Aku mengadu kepada (guruku) Waki' atas buruknya hafalanku,
Maka diapun memberiku nasihat agar aku meninggalkan kemaksiatan,
Dia memberitahuku bahwa ilmu itu adalah cahaya,
Dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada orang yang bermaksiat.
Sunday, November 8, 2009

Jus dan Buah Setelah Makan?

Kita punya kebiasaan makan buah atau minum jus setelah makan besar. Menurut informasi yang saya dapat, kebiasaan makan buah setelah makan ternyata kebiasaan buruk. Hal ini disebabkan karena buah dicerna lebih cepat daripada meal atau makanan besar seperti daging dan sebagainya, sehingga jika dimakan setelah meal, absorbsi buat tidak maksimal. Ada juga yang mengatakan akan mengganggu proses pencernaan. Setelah saya cari, ada dua pendapat mengenai makan buah setelah meal ini: (1) IT'S OK, dan (2) NOT RECOMMENDED.

http://wiki.answers.com/Q/Do_you_eat_fruit_before_or_after_meals
Fruit takes longer to digest so when eating a meal it can slow down your digestion progress making you feel bloated. It really doesn't matter whether you eat fruit before or after a meal. If you eat fruit before a meal, you tend to eat less. If you eat it after a meal it's kind of like a desert.

http://caloriecount.about.com/eat-fruit-ft90993
Fruit digests very quickly compared to other foods, and is very sugary and therefore 'ferments' in your stomach. This is fine normally, but if you eat fruit after eating a lot of other food that digest more slowly, then the fermenting fruit sits in your stomach a lot longer, and can cause bloating, gas and discomfort.

Mana yang benar? DON'T KNOW. Mungkin Anda tahu jawabannya?

picture: http://en.wikipedia.org/wiki/Orange_juice

Anti Kemapanan

Anti kemapanan bisa diartikan di dua sisi: negatif atau positif. Saya pertama kali mengenal kata ini waktu SMA. Dulu, saya menganggap istilah ini sebagai hal negatif karena kebetulan waktu itu ada kontes 'anti kemapanan' di MTV. Tapi belakangan, istilah 'anti kemapanan' di benak saya mulai bergeser dari negatif ke positif.

Anda pasti ingat hukum inersia. Sebuah benda tidak akan bisa bergerak jika tidak ada gaya yang mendorongnya. Gaya inilah yang akan membuat benda tersebut terus dan terus bergerak maju. Nah, ibarat benda, jika tak ada gaya yang mendorong untuk terus maju, orang akan cenderung diam; diam ditempat yang aman. Anti kemapanan adalah ketidak-inginan seseorang untuk terjebak dalam kondisi ‘mapan’, zona aman dimana kita telah merasa ‘cukup'; tak perlu bergerak. Saya tidak mengatakan ketidakinginan 'mapan' disini adalah ketidakinginan 'mapan' secara finansial, pun tidak ada masalah jika diartikan seperti itu, tergantung definisi mapan secara finansial itu apa.


Ada istilah bahwa diam itu cenderung rusak. Dalam kaidah fiqih, air yang diam adalah air yang rusak, tidak bisa dipakai untuk bersuci dengan syarat-syarat tertentu. Sebaliknya, air yang mengalir adalah air yang baik, bisa dipakai untuk bersuci. Jika air saja kalau diam berarti rusak, bagaimana dengan manusia?

Hal itulah yang mendasari butuhnya gaya yang mendorong kita dalam kehidupan sehari-hari agar kita tidak 'diam'. Lebih spesifik lagi agar kita tidak terbuai dengan diamnya kita dalam menikmati rutinitas kerja: berangkat pagi, kerja, pulang, tidur, makan, begitu seterusnya. Diam untuk tidak bergiat diri dalam beribadah, dalam berdakwah, dalam memperbaiki diri dan orang lain.

Dalam bahasa lain, kita butuh adanya tarbiyah dalam kehidupan sehari-hari kita, terutama tarbiyah dzatiyah; pembinaan diri sendiri. Mengapa? Karena sejatinya, tarbiyah diri sendirilah yang akan menjadi sumber bahan bakar yang takkan habis, yang bisa mendorong kita untuk terus bergerak. Kalau bukan diri sendiri siapa yang akan membina kita? Bukankah kita bertanggung jawab atas diri kita sendiri? Bukan kelak di akhirat kita bertanggung jawab atas diri-diri kita masing-masing? So, teriakkan 'anti kemapanan', lalu dorong diri-diri kita untuk bisa bergerak.

Bergerak.. Bergerak.. Terus bergerak..

picture: http://www.chip.co.id/gallery/data//512/Aliran_sungai.jpg


Keteladanan Ekstrim

Saya baru dapet istilah ini waktu jadi pembicara tamu di Asrama Etos Ahad lalu. Kebetulan ada kang Hafiz EL'98 juga yang juga jadi pembicara disana. Ceritanya saya sebagai wakil profesional, kang Hafiz wakil enterpreneur.

Alhamdulillah, saya senang sekali bisa sharing, berbagi banyak hal kepada peserta tentang pengalaman saya, yang saya sendiri pun baru menyadari saat itu juga, betapa perlunya saya bersyukurinya atas hal ini. Kalau tidak ada undangan mengisi acara seperti itu, mungkin saya belum menghayati dan mensykurinya.

Kata seorang ustadz, "Kita jadi besar ini sebenarnya hanya karunia Allah. Kita sering berbicara jika ingin menjadi besar maka begini begitu, padahal dulu sebelum jadi besar, tidak dengan kesadaran mempraktekan apa yang dibicarakan sekarang ini, bahkan mengetahui ilmunya pun tidak." Semua itu tidak lain hanya jalan yang Allah karuniakan kepada hamba-Nya.

Dari acara itu, justru banyak ilmu yang bisa saya ambil . Salah satu yang saya dapatkan adalah istilah "keteladanan ekstrim." Walaupun sebenarnya tidak seratus persen baru karena esensinya pernah saya dapatkan dari murabbi sejak dulu, hanya pengistilahan yang berbeda. saja. Pun hakekat itu telah menempel kokoh di hati saya sejak lama. Tapi kali ini ingatan saya itu kembali tergugah.

Keteladanan ekstrim

Maksud saya adalah: negeri ini butuh sosok-sosok teladan yang extreamly baik, tapi juga seorang da'i. Butuh seorang yang extreamly kaya, pengusaha, tapi juga da'i. Butuh seorang yang extreamly profesional, ahli satu-satunya di Indonesia, tapi juga da'i. Butuh seorang yang extreamly sukses dan dipandang di masyarakat, tapi juga da'i.

Tidak bisa kita pungkiri bahwa masyarakat menilai seseorang berdasar kedudukannya, dan menghormatinya berdasar penilaian kedudukannya itu. Seperti teori Pak Mario Teguh yang menyebutkan bahwa, "Jika Anda sebagai suami ingin didengar istri, maka tempatkanlah sebagai orang besar dihadapan istri. Jadilah suami yang bijaksana, berwibawa, penuh tanggung jawab, sehingga istri melihat Anda sebagai orang besar yang patut didengarkan," begitu pula hubungan kita dengan masyarakat.

Teori ini benar-benar berlaku di masyarakat. Contoh kecil saja. Byangkan ada seorang calon menteri yang extreamly kaya, lalu pada hari diangkatnya dia sebagai menteri, dia berkata, "Saya akan serahkan semua gaji saya untuk negeri! Bahkan separuh harta saya." Seketika itu juga masyarakat akan terperangah, shock, dan tiba-tiba melihat sosok yang begitu mengagumkan. Lalu peran ke-da'i-an-nya di masyarakat akan semakin dimudahkan. Ini sekedar contoh kecil saja. Dan kita butuh contoh-contoh nyata teladan yang ekstrim ini.

Jika ada pertanyaan siapa orang Indonesia yang ahli bikin chip? Jawabannya: orang Muslim. Siapa orang Indonesia yang jadi pengusaha paling sukses? Orang Muslim. Siapa orang Indonesia yang jadi professor dan dapat Nobel? Orang Muslim. Siapa orang Indoneisa yang dapet cap orang paling dermawan? Pasti orang Muslim! Muslim, Muslim, dan Muslim. Muslim berjaya karena Islam. Begitulah semestinya.

So? Mari kita hadirkan semangat itu dalam hati kita. Jadilah orang ekstrim baik, lalu hadirkanlan keteladanan ekstrim itu di masyarakat. Buktikan bahwa Islam itu tinggi, dan tiada yang lebih tinggi darinya, lalu perhatikan apa yang terjadi.

Saya agak terperangah dengan kalimat kang Hafiz yang katanya mengutip dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu'anhu, "Kalau ada 100.000 orang berjuang di jalan Allah, pasti saya ada di salah satunya, kalau ada 1000 orang berjuang, pasti saya salah satunya, kalau ada 10 orang berjuang, pasti saya salah satunya, kalau ada 1 orang berjuang, pasti itu adalah saya!".

Profesionalisme

Tak lengkap rasanya kalau saya tidak menyertakan apa yang saya sampaikan di Asrama Etos. Profesionalisme, dari kamus Merriam-Webster, berarti: "engaged in one of the learned" (see this). Tapi saya lebih suka menyebut profesinal sebagai sikap amanah (walau ada istilah lebih sering dipakai, yaitu, itqan). Amanah adalah sikap untuk menjaga dan memenuhi apa yang dititipkan kepadanya, termasuk dalam hal pekerjaan. Dengan amanah ini, seseorang akan termotivasi untuk selalu menjadi lebih baik dan selalu mencoba untuk bersikap 'professional'.

Lima hal yang saya rangkumkan berdasarkan pengalaman pribadi bergelut di dunia keprofesian adalah: niat, "passion", learn, practise, dan do'a.

_Niat_ adalah satu hal besar yang membedakan kita sebagai seorang Muslim dengan non-Muslim. Setiap hal, setiap waktu, setiap tetes keringat yang kita keluarkan tanpa disertai niat baik untuk beribadah, untuk memberikan sumbangsih pada Islam, maka akan sia-sia. Sungguh sayang jika seperti itu adanya.

_
"Passion"_ adalah rasa ketertarikan akan suatu bidang. Perlu bagi kita untuk menumbuhkan rasa ketertarikan terhadap bidang yang ingin kita profesionalisasi, sebagai bahan bakar yang akan menghembuskan semangat setiap kali menjalaninya.

_Learn
_, jangan berhenti belajar, jangan berhenti bertanya.

_Practise_, ada teori yang dilakukan Malcolm Gladwell tentang orang-orang menonjol di bidangnya, ternyata adalah mereka-mereka yang memberikan waktu lebih untuk mencoba, orang-orang yang sudah melebihi 10.000 jam mencoba.

_Do'a_
, adalah keistimewaan kita sebagai orang Muslim, yaitu senjata orang Muslim. Semua bisa terjadi atas takdir Allah, dan ada takdir yang bisa dirubah dengan berdo'a.

Pada akhirnya, banyak sekali hal yang bisa dilakukan sebagai pintu menuju profesionalisme. Pun tulisan ini akan panjang sekali kalau harus membahas semua point diatas secara detail. Intinya semua bermuara pada diri sendiri. Pada akhirnya, action-lah yang akan menjawab. Dan 'ku tak 'kan lelah untuk membagi ilmu ini kepada orang lain, karena "Hidup akan bermakna kalau sudah bermanfaat bagi orang lain." Semoga tulisan ini memberi inspirasi (ya2n).