Showing posts with label Thougth. Show all posts
Showing posts with label Thougth. Show all posts
Wednesday, February 29, 2012

Biografi Sa'id bin Musayyab: Penghulu Para Tabi'in

"Adalah Sa'id bin Al-Musayyab telah berfatwa
padalah banyak sahabat yang masih hidup."

Suatu tahun, Amirul Mukminin Abdul Malik bin Marwan berhasrat untuk menunaikan haji ke Baitullah Al-Haram dan berziarah ke Haraimain yang mulia dan mengucapkan salam kepada Rasulullah saw.

Sampailah bulan Dzul Qa’dah, beliau berangkat menuju ke bumi Hijaz disertai tokoh-tokoh bani umayyah, para gubernurnya, pejabat pemerintah dan sebagian anaknya. Rombongan bertolak dari Damskus ke Madinah Al-Munnawarah tanpa tergesa-gesa. Tiap kali singgah atau di suatu tempat atau wilayah, mereka berisitirahat sambil mengadakan majelis ilmu dan saling memberikan peirngatan agar bertambah pengetahuannya tentang din dan mengisi jiwa dengan mutiara hikmah dan nasihat yang baik.

Sampailah rombongan tersebut di Madinah Al-Munawarah, Amirul Mukminin menuju tempat suci untuk memberi salam kepada penghuninya, Muhammad saw. Kemudian beliau melakukan shalat di Raudhah Asy-Syarifah. Beliau merasakan kesejukan, ketenangan dan ketentraman jiwa yang belum pernah beliau rasakan sebelumnya. Ingin rasanya beliau memperpanjang waktu kunjungannya di kota Rasulullah itu seandainya ada waktu luang.

Pemandangan yang paling mengesankan dan menarik perhatiannya di Madinah Al-Munawarah itu adalah banyaknya halaqah ilmu yang memakmurkan masjid Nabawi. Di sana berkumpul para ulama besar dan tokoh-tokoh tabi’in bagaikan bintang-bintang bercahaya di ufuk langit. Ada halaqah Urwah bin Zubair, ada halaqah Sa’id bin Musayyab, dan ada halaqah Abdullah bin Utbah.



Suatu hari Amirul Mukminin terbangun dari tidur siangnya tiba-tiba, tidak seperti biasa. Lalu dipanggilnya penjaga, “Wahai Maisarah!” Maisarah menjawab, “Saya wahai Amirul Mukminin.” Beliau berkata, “Pergilah ke masjid Nabawi dan undanglah salah satu ulama yang berada di sana untuk memberikan peringatan kepada kita.”

Maisarah bersegera menuju masjid. Dia melihat seluruh sudut-sudut masjid namun tidak melihat kecuali satu halaqah yang dipimpin oleh seorang syaikh yang telah tua. Usianya tampak sudah lebih dari 60 tahun, wajahnya tampak memancarkan kewibawaan seorang ulama. Orang-orang nampak menaruh hormat dan takjub kepadanya.

Maisarah menghampirinya hingga dekat dengan halaqah tersebut lalu menunjukkan jarinya kepada syaikh tersebut. Akan tetapi orang itu tidak menghiraukannya, sehingga akhirnya Maisarah mendekat dan berkata, “Tidakkah Anda melihat bahwa saya menunjuk Anda?”

Sa’id, “Anda menunjuk saya?”

Maisarah, “Benar.”

Sa’id, “Apa keperluan Anda?”

Maisarah, “Amirul Mukminin terbangun dari tidur lalu berkata kepadaku, ‘Pergilah ke masjid Nabawi dan lihatlah kalau-kalau ada seseorang yang bisa menyampaikan hadits untukku, bawalah kemari’.”

Sa’id, “Aku bukanlah orang yang beliau maksud.”

Maisarah, “Tetapi beliau menginginkan seseorang untuk diajak bicara.”

Sa’id, “Barangsiapa menghendaki sesuatu, seharusnya dialah yang datang. Di masjid ini ada ruangan yang luas jika dia menginginkan hal itu. Lagi pula hadit lebih layak untuk didatangi, akan tetapi dia tidak mau mendatangi.”

Utusan itu kembali dan melapor kepada Amriul Mukminin, “Saya tidak menemukan kecuali seorang syaikh tua. Saya menunjuk kepadanya, tapi dia tidak mau berdiri. Saya mendekatinya dan berkata, ‘Amirul mukminin terbangun dari tidur lalu berkata kepadaku, pergilah ke masjid Nabawi dan lihatlah kalau-kalau ada seseorang yang bisa menyampaikan hadits untukku, bawalah kemari.’ Tetapi dia menjawab dengan tenang dan tegasi, ‘Aku bukan yang dia maksud dan masjid ini cukup luas kalau dia menginginkan hadits’.”

Abdul Malik menghela nafas panjang. Dia bangkit lalu masuk ke rumah sambil bergumam, “Pasti dia adalah Sa’id bin Musayyab. Kalau saja engkau tadi tidak menghampiri dan mengajaknya bicara…”

Ketika Abdul Malik telah meninggalkan majlik dan masuk kamar, putranya yang busu bertanya kepada kakaknya, “Siapakah yang orang yang berani menentang amirul mukminin dan menolak untuk menghadap itu, sedangkan dunia tunduk kepadanya dan raja-raja Romawi gentar oleh wibawanya?”

Maka berkatalah saudaranya yang paling besar, “Dia adalah orang  yang putrinya pernah dipinang oleh ayah untuk saudara kita, Al-Walid, tetapi dia menolak menikahkannya.”

Adiknya berkata heran, “Benarkah ia tidak mau  menikahkan putrinya dengan Al-Walid bin Abdul Malik? Apakah dia mendapatkan pasangan yang lebih baik untuk putrinya layak calon pengganti Amirul Mukminin dan khalifah? Atau dia seperti orang-orang yang menghalangi putrinya untuk menikah dan tinggal menganggur di dalam rumah?”

Berkatalah sang kakak, “Sebenarnyalah aku tidak mengetahui berita tentang mereka.” Seorang dari pengasuh mereka, yang berasal dari Madinah berkata, “Sekiranya diizinkan aku akan menceritakan seluruh kisah itu. Gadis itu telah menikah dengan seorang pemuda di kampung saya bernama Abu Wada’ah. Kebetulan dia adalah tetangga dekat dengan kami. Pernikahannya menjadi suatu kisah yang sangat romantis seperti yang dikisahkan Abu Wada’ah sendiri kepada saya.” Orang-orang berkata, “Ceritakanlah kepada kami.”

Diapun berkata, “Abu Wada’ah bercerita kepada saya, ‘Sebagaimana Anda ketahui, aku adalah seorang yang tekun hadir di masjid Nabawi untuk menuntut ilmu. Aku paling sering menhadiri halaqah Sa’id bin Musayyab dan suka mendesak orang-orang dengan siku bila mereka saling berdesak-desakan dalam majelis tersebut. Namun pernah berhari-hari saya tidak menghadiri majelis tersebut. Beliau menduga saya sedang sakit atau ada yang menghalangiku untuk  hadir. Beliau bertanya kepada beberapa orang di sekitarnya  namun tidak pula mendapat berita tentang diriku.

Beberapa hari kemudian aku menghadiri majelis beliau kembali. Beliau segera memberi salam dan bertanya:

Sa’id, “Kemana saja engkau, wahai Abu Wada’ah?”

Aku, “Istriku meninggal sehingga aku sibuk mengurusnya.”

Sa’id, “Kalau saja engkau memberitahu aku wahai Abu Wada’ah, tentulah aku akan takziyah, menghadiri jenazahnya dan membantu segala kesulitanmu.”

Aku, “Jazakallahu khairan, semoga Allah membalas kebaikan Anda.”

Aku bermaskud pulang, namun beliau memintaku untuk menunggu sampai semua orang di majelis itu pulang, lalu beliau berkata:

Sa’id, “Apakah engkau sudah berfikir untuk menikah lagi wahai Abu Wada’ah?”

Aku, “Semoga Allah merahmati Anda, siapa gerangan orang yang mau menikahkan putrinya dengan aku, sedang aku hanyalah seorang pemuda yang lahir dalam keadaan yatim dan hidup dalam keadaan fakir. Harta yang kumiliki tak lebih dari dua atau tiga dirham saja.”

Sa’id, “Aku akan menikahkan engkau dengan putriku.”

Aku, (terkejut dan terheran-heran) “Anda wahai Syaikh? Anda akan menikah putri Anda denganku padahal Anda telah mengetahui keadaanku seperti ini?”

Sa’id, “Ya benar. Bila seseorang datang kepaada kami dan kami suka kepada agama dan akhlaknya, maka akan kami nikahkan. Sedangkan engkau di mata kami termasuk orang yang kami sukai agama dan akhlaknya.”

Lalu beliau menoleh kepada orang yang berdekatan dengan kami berdua, dan beliau memanggilnya. Begitu mereka datrang dan berkumpul di sekeliling kami, beliau bertahmid dan bershalawat,  lalu menikahkan aku dengan putrinya, maharnya uang dua dirham saja.

Aku berdiri dan tak mampu berkata-kata lantaran heran bercampur gembira, lalu aku pun bergegas untuk pulang. Saat itu aku sedang shoum hingga aku lupa akan shaumku. Kukatakan pada diriku sendiri, “Celaka wahai Abu Wada’ah, apa yang telah aku perbuat atas dirimu? Kepada siapa engkau akan meminjam uang  untuk keperluanmu? Kepada siapa engkau akan meminta uang itu?”

Aku sibuk memikirkan hal itu hingga maghrib tiba. Setelah kutunaikan kewajibanku, aku duduk untuk menyantap makanan berbuka berupa roti dan zaitun. Selagi saya mendapatkan satu atau dua suapan, mendadak olehku terdengar ketukan pintu. Aku bertanya dari dalam, “Siapa?” Dia menjawab, “Sa’id.”

Demi Allah, ketika itu terlintas di benakku setiap nama Sa’id yang kukenal kecuali Sa’id bin Musayyab, sebab selama 20 tahun beliau tidak pernah terlihat kecuali di tempat antara rumahnya sampai dengan masjid Nabawi.

Aku membuka pintu, ternyata yang beridiri di depanku adalah Imam Asy-Syaikh Sa’id bin Musayyab. Aku menduga bahwa beliau mungkin menyesal karena tergesa-gesa dalam menikahkan putrinya lalu datang untuk membicarakannya denganku. Oleh sebab itu aku segera berkata:

Aku, “Wahai Abu Muhammad, mengapa Anda tidak menyuruh seseorang untuk memanggilku agar aku menghadap Anda?”

Sa’id, “Bahkan, engkaulah yang lebih layak didatangi.”

Aku, “Silakan masuk!”

Sa’id, “Tidak perlu, karena aku datang untuk suatu keperluan.”

Aku, “Apa keperluan Anda wahai Syaikh? Semoga Allah merahmati Anda.”

Sa’id, “Sesungguhnya putriku sudah menjadi istrimu berdasarkan syari’at Allah sejak tadi pagi. Maka aku tidak ingin membiarkanmu berada di tempatmu sedangkan istrimu di tempat yang lain. Oleh sebab itu kubawa dia sekarang.”

Aku, “Aduh, Anda sudah membawanya kemari?”

Sa’id, “Benar.”

Aku  melihat ternyata istriku berdiri di belakangnya. Syaikh menoleh kepadanya lalu berkata, “Masuklah ke rumah suamimu dengan nama Allah dan berkah-Nya!”

Pada saat istriku hendak melangkah, tersangkut gaunnya sehingga nyaris terjatuh. Mungkin karena dia malu. Sedangkan aku hanya bisa terpaku di depannya dan tidak tahu harus berkata apa. Setelah tersadar, segera aku ambil piring berisi roti dan zaitun, kugeser ke belakang lampu agar dia tidak melihatnya.

Selanjutnya aku naik jendela atas rumahku untuk memanggil para tetangga. Mereka datang dengan kebingungan sambil bertanya, “Ada apa wahai Abu Wada’ah?” Aku berkata, “Hari ini aku dinikahkan oleh Syaikh Sa’id bin Musayyab, sekarang putrinya itu telah dibawa kemari. Kuminta kalian agar menghibur dia sementara aku hendak memanggil ibuku sebab rumahnya jauh dari sini.”

Ada seorang wanita tua diantara mereka berkata, “Sadarkan engkau dengan apa yang engaku ucapkan? Mana mungkin Sa’id bin Musayyab menikahkan putrinya, sedangkan  pinangan Walid bin Abdul Malik putra Amirul Mukminin telah ditolak.”

Beberapa tetanggaku berdatangan dengan rasa penasaran hampir tak percaya, kemudian mereka menyambut dan menghibur istriku itu. Tak lama kemudian ibuku datang. Setelah melihat istriku, dia berkata kepadaku seraya berkata, “Haram wajahku bagimu kalau engkau tidak membiarkan aku memboyongnya sebagai pengantin terhormat.”

Akau katakan, “Terserah ibu.”

Istriku dibawa oleh ibuku. Tiga hari kemudian dia diantarkan kembali kepadaku. Ternyata istriku adalah wanita yang paling cantik di Madinah, paling hafal Kitabullah dan paling mengerti soal-soal hadits Rasulullah, juga paling paham akan hak-hak suami.

Sejak saat itu dia tinggal bersamaku. Selama beberapa hari ayah mapuan keluarganya tidak ada yang datang. Kemudian aku datang lagi ke halaqah Syaikh di masjid. Aku memberi salam kepadanya. Beliau menjawab, lalu diam. Setelah majelis sepi, tinggal kami berdua, beliau bertanya:

Sa’id, “Bagaimana keadaan istrimu, wahai Abu Wada’ah?”

Aku, “Dia dalam keadaan disukai oleh kawan dan dibenci oleh musuh.”

Sa’id, “Alhamdulillah.”

Sesudah kembali ke rumah, kudapati beliau telah mengirim banyak uang untuk membantu kehidupan kami…”

Mendengar kisah itu, putra-putra Abdul Mali berkomentar, “Sungguh mengherankan orang itu.” Orang yang bercerita itu berkata, “Apa yang mengherankan wahai tuan? Dia memang orang yang menjadikan dunia sebagai kendaraan dan perbekalan untuk akhiratnya. Dia membeli untuk diri dan keluarganya, akhirat dengan dunianya. Demi Allah, bukan karena beliau bakhil terhadap putra Amirul Mukminin dan bukannya beliau memandang bahwa Al-Walid tidak sebanding dengan putrinya itu. Hanya saja beliau khawatir putrinya akan terpengaruh oleh fitnah dunia ini.

Beliau pernah ditanya oleh seorang kawannya, “Mengapakah Anda menolak pinangan Amirul Mukminin lalu kau nikahkan putrimu dengan orang awam?” Syaikh yang teguh itu menjawab, “Putriku adalah amanat di leherku, maka aku pilihkan apa yang sesuai untuk kebaikan dan keselamatan dirinya.”

Beliau bertanya, “Apa maksud Anda wahai Syaikh?”

Beliau berkata, “Bagaimana pandangan kalian bila misalnya dia pindah ke istana Bani Umayah lalu bergemilang di antara ranjang dan perabotnya? Para pembantu dan dayang mengelilingi di sisi kanan dan kirinya dan dia mendapati dirinya sebagai istri khalifah. Bagaimana kira-kira keteguhan agamanya nanti?”

Ketika itu datang dari Syam berkomentar, “Tampaknya kawan kalian itu benar-benar lain dari yang lain.” Lalu laki-laki itu berkata, “Sungguh aku mengatakan yang sebenarnya. Beliau suka shaum di siang hari dan shalat di malam  hari. Sudah hampir 40 kali melaksanakan haji dan tak pernah ketinggalan melakukan takbir pertama di masjid Nabawi sejak 40 tahun yang silam. Juga tak pernah melihat punggung orang dalam shalatnya itu, karena selalu mejaga shaf pertama.

Kendati ada peluang bagi beliau untuk memilih istri dari golongan Quraisy, tetapi beliau lebih mengutamakan putri Abu Hurairah r.a. dan memiliki kekayaan mengenai riwayat hadits, yang beliau ingin juga mengambilnya. Sejak kecil beliau telah bernadzar untuk mencari ilmu.

Beliau mendatang rumah istri-istri Rasulullah saw. untuk memperoleh ilmu dan berguru pada Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Umar serta Abdullah bin Abbas. Beliau mendengar hadits dari Utsman, Ali, Suhaib dan para sahabat Nabi saw. yang lain. Beliau berakhlak dengan akhlak mereka dan berperilaku seperti mereka. Beliau selalu mengucapkan suatu kalimat yang menjadi slogannya setiap hari, “Tiada yang lebih menjadikan hambanya berwibawa selain taat kepada Allah SWT dan tiada yang lebih membuat hina seorang hamba dari bermaksiat kepada-Nya.”

Diambil dari buku Shuwaru min Hayati at-Tabi’in, Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya (Mereka Adalah Para Tabi’in, terj. Abu Umar Abdillah, Pustaka At-Tibyan, 2009).

Saturday, February 18, 2012

Pentingnya Menceritakan Kisah-Kisah Islami Kepada Anak-Anak


Ada kesalahan persepsi di kalangan masyarakat bahwa anak-anak menyukai televisi hanya karena gambar-gambarnya yang bergerak, sehingga kekhawatiran yang muncul hanya sebatas sifat adiktif televisi yang membuat anak-anak seolah-olah tidak ada kegiatan lain selain menonton televisi, bukan kekhawatiran akan dampak buruk dari informasi yang diserapnya.

Usia anak 0 - 5 tahun adalah usia golden-age atau usia emas. Pada masa ini, anak-anak mengembangkan hampir 80% otaknya. Kemampuan otak anak-anak untuk menyerap informasi sangat tinggi. Informasi yang mereka peroleh pada masa ini akan berdampak bagi kehidupannya di kemudian hari. Oleh karena itu, perhatian orang tua mengenai informasi yang diserap pada usia ini sangatlah penting. Anak-anak mendapatkan informasi melalui berbagai macam media, seperti interaksi langsung dengan orang tuanya, benda-benda di sekitarnya, lingkungan tempat bermainnya, buku-buku, dan televisi.

Sayangnya, media informasi yang banyak diminati anak-anak adalah media televisi. Ya, televisi merupakan media informasi yang efektik bagi anak-anak. Ada kesalahan persepsi di kalangan masyarakat bahwa anak-anak menyukai televisi hanya karena gambar-gambarnya yang bergerak, sehingga kekhawatiran yang muncul hanya sebatas sifat adiktif televisi yang membuat anak-anak seolah-olah tidak ada kegiatan lain selain menonton televisi, bukan kekhawatiran akan dampak buruk dari informasi yang diserapnya.



Penelitian menunjukkan, cara anak melihat televisi lebih canggih dari yang kita duga. Daniel Anderson dari University of Massachusetts dan Lizabeth Lorch psikolog dari Armheist College, belakangan--sekitar tahun 1970-an--mulai meneliti hal ini dan menyimpulkan bahwa anak-anak lebih tertarik pada informasi yang didapatkannya daripada unsur-unsur tayangan yang terlihat gemerlap dan berkilat. Dalam sebuah eksperimen, Anderson dan Lorch mempertontonkan episode film anak-anak yang dipotong-potong (disunting) sehingga informasinya menjadi tidak beraturan. Mereka memilih episode yang memang terbukti disenangi anak-anak. Akan tetadpi setelah disunting, episode yang semula sangat digemari anak-anak itu menjadi tidak digemari lagi; anak-anak meninggalkan tayangan tersebut.

Dalam eksperimen lainnya, mereka melakukan percobaan terhadap dua kelompok anak-anak usia lima tahunan. Kelompok pertama berada dalam sebuah ruangan yang diberi banyak mainan, kelompok kedua berada dalam sebuah ruangan tanpa mainan. Dalam dua ruangan tersebut, program televisi anak-anak ditayangkan. Hasilnya? seperti yang kita duga, anak-anak yang diberi mainan hanya menggunakan 47% waktunya untuk menonton televisi, sedangkan anak-anak yang tidak diberi mainan menggunakan 87% waktunya untuk menonton televisi. Tidak mengherankan. [1]

Yang mencengangkan adalah, ketika kedua kelompok tersebut ditanya mengenai isi tayangan, hampir semuanya menjawab dengan porsi yang sama, tidak muncul perbedaan antara kelompok yang diberi mainan dan yang tidak diberi mainan. Mereke menyimpulkan bahwa, "Anak-anak usia lima tahun di ruangan penuh mainan menjalankan permintaan penguji dengan cara yang strategis sekali, yakni membagi perhatian mereka antara bermain dan menonton sedemikian sehingga mereka menonton hanya bagian-bagian yang menurut mereka paling informatif. Strategi ini begitu efektif sehingga anak-anak tersebut tidak harus menonton terus menerus."

Kalau kita cermati hasil penelitian ini, kita akan tersadar betapa besar pengaruh televisi pada anak-anak usia emas. Anak-anak tidak hanya melihat gambar-gambar saja, tapi meresapi informasi yang disampaikan. Informasi ini kemudian membentuk kepribadian yang akan membekas sampai anak menginjak usia dewasa.

Jika tayangan televisi yang ditayangkan berupa fantasi, anak-anak akan mencoba membayangkan dunia ini layaknya di dunia fantasi. Jika tayangan yang ditayangkan berupa Doraemon, anak-anak akan mencoba berimajinasi berada di dunia Doraemon, begitu seterusnya. Dr Muhamad Salah, memperingatkan bahayanya tayangan-tayangan fantasi bagi anak-anak. "Ada banyak cerita yang tidak baik untuk disampaikan kepada anak-anak." kata Dr Muhammad Salah dalam sebuah acara diskusi, "seperti cerita-cerita fiksi atau fiksi ilmiah, juga cerita superhero seperti superman, kura-kura ninja, dan sebagainya." Cerita-cerita tersebut membuat anak-anak berusaha menghubung-hubungkan dunia fantasi--yang tidak rasional--kepada kenyataan yang ada--yang rasional. Bisa dibayangkan jika anak-anak ditanya tentang realita negara Palestina yang dijajah Israel, anak-anak akan berkomentar 'datangkan superman, atau power ranger', bukan berkomentar tentang kepahlawanan Salahuddin Al-Ayubi atau kepemimpinan Umat bin Khattab. Cerita-cerita fiksi membuat nak-anak dilatih untuk berpikir tidak rasional.

Yang lebih membahayakan adalah jika tayangan yang ditayangkan berupa sinetron, gosip artis, dan tayangan kriminal, yang bukan lagi berupa fantasi tapi seakan-akan realita sehari-hari, maka anak-anak akan membayangkan kehidupan sehari-hari mereka akan seperti yang mereka tonton.

Sayangnya, hampir tidak ada acara televisi yang baik untuk anak-anak, entah tayangan fiksi maupun non-fiksi. Kalaupun ada, paling tidak iklannya tidak baik untuk anak-anak. Sangat sulit bagi orang tua memilih tayangan televisi yang baik untuk anak-anak mereka.

Oleh karena itu, kita perlu membiasakan anak-anak mendapatkan informasi denagn media lain selain televisi, yaitu interaksi langsung dengan orang-tua. Hanya dengan cara inilah kita dapat memilih-milih informasi yang tepat untuk anak-anak. Story-telling, atau menceritakan kisah-kisah dengan gaya yang interaktif dan menarik dapat menjadi solusi alternatif yang ampuh sekaligus besar manfaatnya.

Kebiasaan menceritakan kisah-kisah ini harus dimulai sejak dini, sebelum anak-anak lebih tertarik kepada televisi. Kebiasaan ini pula yang akan membuat anak-anak suka membaca. Dr Sigman, seorang penelti dan psikolog dari British Psychological Society mengatakan, "Sangat sulit membuat anak-anak tertarik dengan membaca kecuali dengan membuat mereka tertarik sedini mungkin.", dia menambahkan, "Banyaknya stimulasi dari media televisi dan komputer, menurut para peneliti, berdampak buruk pada anak-anak." [2]



Kisah-kisah terbaik untuk anak-anak adalah kisah Islami, sebagaimana dikatakan Dr Muhamad Salah. Tidak ada alasan bagi kita untuk memilih kisah-kisah selain kisah Islami. Pertama, karena manfaatnya besar, kedua kisah-kisah Islami sedemikian banyaknya hingga tidak akan kehabisan cerita. [3]

Sebut saja kisah-kisah yang ada di Al-QUr'an, kisah Nabi Musa dengan Fir'aun, Nabi Nuh, Nabi Sulaiman dengan ratu Balqis, Nabi Yunus dengan Ikan paus, dan kisah-kisah Nabi lainnya. Kisah ashabul kahfi, kisah Lukman Al-Hakim, kisah keluarga Imran, kisah Khidir, juga kisah Abu Lahab, Samiri, Dzulkarnain dan Ya'juj dan Ma'juj, dan belum lagi kisah-kisah tentang binatang seperti Gajah, burung Hud-Hud, burung Ababil, semut dan Nabi Sulaiman, lebah, sapi betina, dan sebagainya. Dari Al-Quran saja banyak kisah menarik yang dapat diceritakan kepada anak-anak, apalagi ditambahkan kisah-kisah yang berasal dari hadits, seperti kisah tiga orang bani Israil yang diuji dengan penyakit lepra, buta, dan botak, hampir-hampir tak terbatas jumlahnya.

Kisah-kisah tersebut harus diceritakan dengan gaya bahasa anak-anak agar mudah diterima. Lebih baik lagi jika orang tua sudah hafal diluar kepala tentang kisah-kisah tersebut agar tidak perlu membaca buku untuk menceritakan kepada anaknya. Disamping bisa mengimprovisasi dengan gaya bahasa anak-anak, orang tua juga dapat menceritakan kisah-kisah tersebut kapan saja anak-anak membutuhkannya. "Menceritakan kisah-kisah kepada anak-anak bukan seperti memberikan obat yang harus diminum sesuai aturan," kata Dr Muhamad Salah, "Ketika anak-anak bosan, hentikan, ketika anak-anak menginginkannya ceritakan." Selain gaya bahasa, lingkungan juga perlu disesuaikan agar anak-anak terstimuli dengan kisah-kisah tersebut.

Yuk kita mulai membiasakan menceritakan kisah-kisah Islami kepada anak-anak di keluarga kita!

[1] Tipping Point: How Little Things Can Make a Big Difference
[2] http://news.bbc.co.uk/2/hi/uk_news/education/1002672.stm
[3] www.youtube.com/watch?v=arkrJt3wAFI



Monday, February 13, 2012

Keutamaan Al-Qur'an dan Ahlul Qur'an


Allah telah memuliakan Ahlul Qur'an baik pembaca, penghafal, ataupun pengamalnya dengan keistimewaan yang banyak sekali, di dunia dan akhirat.

Rasulullah telah memberikan spesifikasi khusus bagi para pembaca Al-Qur'an dalam sabdanya,

"Ahlul Qur'an adalah Ahlullah (yang dekat kepada Allah) dan orang-orang khusus (pilihan)-Nya" (HR An-Nasa'i dan Ibnu Majah)

Ahlul Qur'an adalah orang yang dekat dengan Allah karena demikian agung kedudukan mereka. Betapa tidak, bukankah mereka itu mempelajari seagung-agung dan setinggi-tinggi ilmu serta semulia-mulia kedudukan dalam Islam?

Dalam hal ini, para ulama berbeda pendapat mengenai, mana yang lebih utama antara membaca dan menghafal. Diantara mereka ada yang menguatkan bahwa membaca lebih utama dan sebagian lagi ada yang menguatkan bahwa menghafallah yang lebih utama. Masih-maing dari kedua pihak tersebut mengemukakan alasan-alasan bagi pendapat mereka dan kondisi-kondisi tertentu dalam menentukan mana yang lebih utama tersebut.

Para shahabat, demikian antusias membaca Al-Qur'an dan menghafalnya. Sementara itu, Rasulullah juga membanding-bandingkan keutamaan masing-masing para shahabat dalam membaca Al-Qur'an.

Sebagaimana hadits yang shahih dari Abi Mas'ud Al-Anshari Al-Badri, yang meriwayatkan dari Rasulullah shalallahu'alaihi wasallam,

"Yang berhak mengimami suatu kaum adalah yang paling baik bacaannya terhadap Kitabullah diantara mereka." (HR Muslim)

Dan dari Jabir bin Abdullah, bahwasanya Nabi shalallahu'alaihi wasallam pernah mengumpulkan antara dua orang laki-laki yang gugur sebagai syuhada Uhud, kemudian beliau berkata,

"Siapa diantara mereka berdua yang lebih banyak hafalan Al-Qur'annya?" Lalu, bila telah ditunjukkan kepada beliau salah seorang diantara keduanya, maka beliau mendahulukannya untuk dikuburkan di Lahd. (HR Bukhari)

Demikian pula, Rasulullah shalallahu'alaihi wasallam, telah mengawinkan seorang wanita dengan salah seorang dari para shahabatnya dan menjadikan maharnya adalah Al-Qur'an yang dihafalnya.

Rasulullah shalallahu'alaihi wasallam juga menyerahkan panji jihad kepada orang yang paling banyak ahafalannya di kalangan para shahabatnya.

Dari Ibnu Umar, yang meriwayatkan dari Nabi shalallahu'alaihi wasallam bahwasanya beliau bersabda,

"Tidak berlaku iri kecuali terhadap dua orang: seorang yang dianugerahi Allah Al-Qur'an lantas dia mengamalkannya sepanjang malam dan sepanjang siang; dan seorang yang dianugerahi Allah harta lantas dia menginfakkannya sepanjang malam dan sepanjang siang." (HR Bukhari dan Muslim).

Diriwayatkan didalam khabar (hadits) bahwa bilangan tangga-tangga surga itu terdiri dari
bilangan-bilangan ayat-ayat Al-Qur'an, lalu dikatakan kepada pembacanya pada hari kiamat, "Bacalah, lalu naiklah." Jika dia hafal setengah Al-Qur'an, maka dikatakan kepadanya, "Andaikata engkau masih memiliki tambahan hafalan lain, niscaya kami akan menambahkan bagimu pula (tingkatan tangganya-penj.)" (Lihat Tanbih Al-Ghafilin, Juz II, h.459)

Khabar ini sesuai sekali dengan hadits yang berasal dari nabi shalallahu'alaihi wasallam, bahwasanya beliau bersabda,

"Dikatakan kepada pemilik Al-Qur'an (penghafalnya): 'Bacalah, lalu naiklah, lalu bacalah lagi (secara tartil) sebagaimana dulu kamu membaca (secara tartil) di dunia, sebab kedudukanmu adalah berada pada akhir ayat yang kamu baca.'" (HR Abu Dawud dan At-Tirmidzi, di berkata: "Hasan Shahih")

Pahala yang diraih adalah berdasarkan tingkat kesulitannya sebab manusia berada di dalam kemampuan memperbagusi dan menekuni. Sebagaimana terdapat dalam hadits dari Rasulullah shalallahu'alaihi wasallam, beliau bersabda,

"Orang yang membaca Al-Qur'an sementara dia mahir, maka dia bersama para malaikat para penulis, yang mulia lagi berbakti, dan orang yang membaca Al-Qur'an dan terbata-bata mambacanya sementara hal itu sulit baginya, maka dia mendapatkan dua pahala." (Muttafaq'alaih)

Sedangkan mengenai majlis-majlis Al-Qur'an dan keutamaannya, maka terdapat hadits yang diriwayatkan dari Nabi shalallahu'alaihi wasallam beliau bersabda,

"Tidaklah berkumpul suatu kaum di salah satu rumah-rumah Allah dan saling mengkajinya di antara mereka, melainkan ketenangan turun kepada mereka, rahmat menyelimuti mereka, dan para malaikat mengelilingi mereka, serta Allah menyebut mereka kepada malaikat yang berada di sisi-Nya." (HR Muslim dan Abu Dawud)

Sebaik-baik manusia adalah orang yang mengaktifkan dirinya dengan Kitabullah dan manjauhi hal-hal yang dapat melalaikannya dari mengingat akhirat. Bilamana dia telah mencapai kepada tingkatan yang diharapkan, maka hendaknya dia mengamalkannya dan memberikan hal yang bermanfaat kepada orang lain.

Hal ini sebagaimana hadits dari Utsman bin Affan, bahwasanya dia berkata, Rasulullah shalallahu'alaihi wasallam bersabda,

"Sebaik-baik kamu adalah orang yang mempelajari Al-Qur'an dan mengamalkannya." (HR Bukhari).

Nafi' bin Harits mengangkat Abdurrahman bin Abza Al-Khuzai sebagai wakil atas pemerintahan di Makkah tatkala dia ingin pergi menemui Umar bin Khattab ke kawasan Usfan. Lalu Umar berkata kepadanya, "Siapa yang engkau angkat sebagai pengganti sementarmu terhadap penduduk Al-Wady (Makkah)?"

Dia menjawab, "Ibnu Abza."
Dia bertanya lagi, "Siapa Ibnu Abza itu?"
Dia menjawab, "Dia seorang alim ilmu faraidh, dan qari Kitabullah."
Dia berkata, "Benar, bukankah Anbi kalian shalallahu'alaihi wasallam telah bersabda,

'Sesungguhnya Allah telah mengangkat banyak kaum melalui Al-Qur'an dan juga merendahkan yang lain melaluinya pula.' "

Demikian juga diriwayatkan dari Umar bin Khattab bahwasanya dia berkata, "Ibnu Abza adalah orang yang telah diangkat (derajatnya) oleh Allah dengan Al-Qur'an" (Lihat Syiar A'lam An-Nubala, Juz I, h.365).

Dari Buku Mu'awwiqat Tilawah wa Hifzh Kitabullah, Haya Ar-Rasyid.


Saturday, November 14, 2009

Patriotisme Yang Dibenturkan

Belum lama ini saya mendengar berita dari NPR (npr.org) yang kebanyakan mengulas peristiwa insiden penembakan di markas tentara AS - Fort Hood, Texas - oleh seorang Major bernama Nidal M Hasan. Huff.. Saya hanya bisa menghela nafas. Warga Muslim AS kontan mengeluarkan sikap kecaman atas tindakan tersebut, agar tidak berbuntut pada hal yang tidak diinginkan. Yaitu munculnya sikap anti-Muslim, disaat AS, dengan presiden barunya, Obama, sedang berupaya memperbaiki hubungan dengan Muslim dunia.

''Insiden ini sangat mengerikan," kata Imam Elsayyed Shaker, imam besar Masjid Dar Al-Hijrah di Falls Church, Virginia. Belasungkawa juga diucapkan Iqbal Khaled, wakil direktur AAMS Islamic Center di Virginia. ''Kami merasa sangat sedih,'' ucapnya, seperti yang dilansir oleh Republika Online.

Bagaimanapun juga, tindakan ini tidak dibenarkan. Peristiwa ini hanya akan berimbas pada munculnya sikap atipati rakyat AS terhadap komunitas warga Muslim disana. Spekulasi pun bermunculan seakan ingin memicu wacana menyudutkan warga Muslim disana, yang notabene satu agama dengan pelaku insiden penembakan Fort Hood tersebut.

Patriotisme yang dibenturkan

Saya sangat sulit membayangkan jika suatu ketika, harus berhadapan langsung dengan saudara-saudara kita sesama Muslim di medan pertempuran, hanya karena tuntutan pekerjaan. "Contradiction of being a Muslim and serving in an army that is fighting against his own people."

Mungkin ketika seseorang memilih jalur karirinya sebagai tentara, awalnya punya motivasi tinggi untuk membela tanah-airnya, membela negerinya, menjadi seorang patriot, pahlawan, atau
someone who became a hero to his country, sah-sah saja. Tapi siapa sangka patriotisme itu suatu saat akan diuji, siapa yang lebih engkau pilih, patriotisme kah? Atau idealisme?

Ah, saya berharap saudara-saudara kita yang berada di posisi itu diberi kekuatan untuk tetap menjunjung tinggi idealisme mereka sebagai seorang Muslim. Ingatlah saya akan cerita teman-teman tentang situasi kerja di tempat mereka bekerja. Kebetulan mereka bekerja di perusahaan asing, perusahaan non-Indonesia. Kadang teman-teman saya harus merelakan idealisme mereka sebagai seorang Muslim hanya karena tuntutan pekerjaan. Bagi mereka itu pilihan yang sulit.

Dan itu
tak hanya berlaku di pekerjaan loh. Di organisasi pun ada kalanya begitu. Kadang kita diuji untuk memilih antara mengikuti peraturan organisasi atau tetap dalam idealisme. Misalnya, kalau dalam organisasi, ketika ada acara malam yang mengharuskan ikhtilat, campur-baur-nya laki-laki dan perempuan tanpa mengindahkan kaidah syar'i, mana yang engkau pilih?

Hidup memang sering berbenturan. Kita harus akui itu. Seperti yang saya bilang di awal, saya sendiri tak bisa membayangkan berada di posisi Major Nidal M Hasan, ketika harus berangkat ke Iraq, berposisi sebagai musuh warga Muslim Iraq disana. Saya hanya bisa bersyukur bahwa Allah menjauhkan diri saya dari benturan-benturan idealisme semacam itu. Saya hanya bisa bersyukur, dan mudah-mudahan terus bersyukur, untuk masih berada di tubuh yang sama, merasakan pahit dan sedih yang sama, "Perumpamaan orang-orang beriman dalam hal saling mencintai, mengasihi, dan saling berempati bagaikan satu tubuh. Jika salah satu anggotanya merasakan sakit maka seluruh tubuh turut merasakannya dengan berjaga dan merasakan demam." (HR. Muslim)

Terakhir saya tuliskan,
Ketika "patriotisme itu dibenturkan",
Mari do'akan semoga Allah memberi kekuatan. (ya2n)


Menyikapi Musibah

Musibah atau bencana adalah takdir yang telah ditetapkan Allah pada makhluk-Nya. Takdir itu adalah hikmah dan ketetapan Allah yang tidak bisa dihindari. Allah subhanahu wata'ala berfirman, "Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah." (QS. Al-Hadid : 22)

Allah menjelaskan hal itu supaya manusia tidak berputus asa dan terus berharap pada-Nya, dan supaya manusia tidak terlalu bergembira dan berbesar hati atas apa yang diraihnya, "(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri." (QS. Al-Hadid : 23)

Manusia berbeda-beda sikap dalam menghadapi musibah ini. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menyebutkan ada empat tingkatan sikap seorang menusia ketika menghadapi musibah. Sebagai seorang yang mengaku beriman kepada Allah, tidak selayaknya kita menyikapi musibah dengan sikap ke-empat. Apakah itu? Mari kita simak ulasan berikut.


Bersabar.

Sikap pertama adalah bersabar. Sebagaimana digambarkan oleh seorang penyair dalam syairnya,

Sabar itu memang seperti namanya
Pahit kalau baru dirasa
Tapi buahnya yang ditunggu-tunggu
Jauh lebih manis daripada madu

Sikap sabar ini berarti masih merasakan sakit dan pahit yang diakibatkan oleh musibah, tetapi berusaha untuk tetap tabah dalam menghadapinya. Masih ada perasaan tidak senang atas ditimpakannya musibah, tetapi menjaganya untuk tidak marah. Tingkatan ini adalah tingatan terandah bagi seorang Muslim. Allah ta'ala berfirman, “Bersabarlah kalian. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (QS. Al Alnfaal : 46).

Ridha.

Sikap kedua adalah ridha. Berbeda dengan sabar, ridha adalah sikap dimana seseorang sudah tidak merasakan pahit, sakit, sedih, ataupun hal-hal lain yang untuk orang lain adalah hal yang tidak mengenakkan. Ridha adalah, ada atau tidaknya musibah itu sama saja, tidak ada beban. Tingkatan ini lebih tinggi dari bersabar.

Bersyukur.

Sikap ketiga adalah bersyukur. Dan ini adalah tingkatan tertinggi seseorang dalam menyikapi musibah. Dengan ditimpakannya musibah, justru dia bersyukur karena menyadari bahwa hakikat musibah adalah bahwa Allah ingin mengingatkan hamba-Nya atas kesalahan-kesalahan dan dosa yang dia lakukan, bahwa musibah adalah salah satu jalan agar dosa-dosanya terhapuskan, bahwa musibah mengingatkan manusia untuk introspeksi diri dan berusaha untuk memperbaiki diri.

Tingkatan tertinggi ini adalah, dengan adanya musibah justru membawanya kepada yang lebih baik. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tiada sebuah musibah pun yang menimpa seorang muslim, kecuali pasti Allah hapuskan (dosanya) dengan sebab musibah itu, bahkan sekalipun duri yang menusuknya.” (HR. Bukhari - Muslim).

Marah.

Sikap keempat adalah marah, dan ini adalah sikap yang tidak selayaknya ada pada setiap Muslim. Marah dibagi lagi menjadi tiga. Pertama, marahnya dismpan dalam hati, yaitu dengan nge-grundel, mengeluh, dan semacamnya. Kedua, marahnya diungkapkan, yaitu dengan ucapan-ucapan kecewa, cercaan, dan semacamnya. Ketiga, marahnya dilampiaskan dengan perbuatan, yaitu dengan menampar-nampar pipi, merobek-robek pakaian, dan semacamnya.

Kesemua hal itu adalah tidak boleh dilakukan dan tidak mungkin dilakukan oleh orang beriman. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Di antara manusia ada orang yang menyembah Allah di pinggiran. Apabila dia tertimpa kebaikan dia pun merasa tenang. Dan apabila dia tertimpa ujian maka dia pun berbalik ke belakang, hingga rugilah dia dunia dan akhirat.” (QS. Al Hajj: 11).

Ada pertanyaan: Bagaimana kalau terkadang masih muncul perasaan marah? (na'udzubillah) Jawabnya: itu pertanda bahwa imannya belum sempurna. Jadi, yuk, kita perbaiki iman, dan jangan lupa minta pertolongan kepada Allah agar dimudahkan jalannya. (ya2n)

* sepenggal oleh-oleh dari kajian rutin Sabtu sore di Masjid Al-Muhajirin Sadang Serang



Sunday, November 8, 2009

Anti Kemapanan

Anti kemapanan bisa diartikan di dua sisi: negatif atau positif. Saya pertama kali mengenal kata ini waktu SMA. Dulu, saya menganggap istilah ini sebagai hal negatif karena kebetulan waktu itu ada kontes 'anti kemapanan' di MTV. Tapi belakangan, istilah 'anti kemapanan' di benak saya mulai bergeser dari negatif ke positif.

Anda pasti ingat hukum inersia. Sebuah benda tidak akan bisa bergerak jika tidak ada gaya yang mendorongnya. Gaya inilah yang akan membuat benda tersebut terus dan terus bergerak maju. Nah, ibarat benda, jika tak ada gaya yang mendorong untuk terus maju, orang akan cenderung diam; diam ditempat yang aman. Anti kemapanan adalah ketidak-inginan seseorang untuk terjebak dalam kondisi ‘mapan’, zona aman dimana kita telah merasa ‘cukup'; tak perlu bergerak. Saya tidak mengatakan ketidakinginan 'mapan' disini adalah ketidakinginan 'mapan' secara finansial, pun tidak ada masalah jika diartikan seperti itu, tergantung definisi mapan secara finansial itu apa.


Ada istilah bahwa diam itu cenderung rusak. Dalam kaidah fiqih, air yang diam adalah air yang rusak, tidak bisa dipakai untuk bersuci dengan syarat-syarat tertentu. Sebaliknya, air yang mengalir adalah air yang baik, bisa dipakai untuk bersuci. Jika air saja kalau diam berarti rusak, bagaimana dengan manusia?

Hal itulah yang mendasari butuhnya gaya yang mendorong kita dalam kehidupan sehari-hari agar kita tidak 'diam'. Lebih spesifik lagi agar kita tidak terbuai dengan diamnya kita dalam menikmati rutinitas kerja: berangkat pagi, kerja, pulang, tidur, makan, begitu seterusnya. Diam untuk tidak bergiat diri dalam beribadah, dalam berdakwah, dalam memperbaiki diri dan orang lain.

Dalam bahasa lain, kita butuh adanya tarbiyah dalam kehidupan sehari-hari kita, terutama tarbiyah dzatiyah; pembinaan diri sendiri. Mengapa? Karena sejatinya, tarbiyah diri sendirilah yang akan menjadi sumber bahan bakar yang takkan habis, yang bisa mendorong kita untuk terus bergerak. Kalau bukan diri sendiri siapa yang akan membina kita? Bukankah kita bertanggung jawab atas diri kita sendiri? Bukan kelak di akhirat kita bertanggung jawab atas diri-diri kita masing-masing? So, teriakkan 'anti kemapanan', lalu dorong diri-diri kita untuk bisa bergerak.

Bergerak.. Bergerak.. Terus bergerak..

picture: http://www.chip.co.id/gallery/data//512/Aliran_sungai.jpg


Keteladanan Ekstrim

Saya baru dapet istilah ini waktu jadi pembicara tamu di Asrama Etos Ahad lalu. Kebetulan ada kang Hafiz EL'98 juga yang juga jadi pembicara disana. Ceritanya saya sebagai wakil profesional, kang Hafiz wakil enterpreneur.

Alhamdulillah, saya senang sekali bisa sharing, berbagi banyak hal kepada peserta tentang pengalaman saya, yang saya sendiri pun baru menyadari saat itu juga, betapa perlunya saya bersyukurinya atas hal ini. Kalau tidak ada undangan mengisi acara seperti itu, mungkin saya belum menghayati dan mensykurinya.

Kata seorang ustadz, "Kita jadi besar ini sebenarnya hanya karunia Allah. Kita sering berbicara jika ingin menjadi besar maka begini begitu, padahal dulu sebelum jadi besar, tidak dengan kesadaran mempraktekan apa yang dibicarakan sekarang ini, bahkan mengetahui ilmunya pun tidak." Semua itu tidak lain hanya jalan yang Allah karuniakan kepada hamba-Nya.

Dari acara itu, justru banyak ilmu yang bisa saya ambil . Salah satu yang saya dapatkan adalah istilah "keteladanan ekstrim." Walaupun sebenarnya tidak seratus persen baru karena esensinya pernah saya dapatkan dari murabbi sejak dulu, hanya pengistilahan yang berbeda. saja. Pun hakekat itu telah menempel kokoh di hati saya sejak lama. Tapi kali ini ingatan saya itu kembali tergugah.

Keteladanan ekstrim

Maksud saya adalah: negeri ini butuh sosok-sosok teladan yang extreamly baik, tapi juga seorang da'i. Butuh seorang yang extreamly kaya, pengusaha, tapi juga da'i. Butuh seorang yang extreamly profesional, ahli satu-satunya di Indonesia, tapi juga da'i. Butuh seorang yang extreamly sukses dan dipandang di masyarakat, tapi juga da'i.

Tidak bisa kita pungkiri bahwa masyarakat menilai seseorang berdasar kedudukannya, dan menghormatinya berdasar penilaian kedudukannya itu. Seperti teori Pak Mario Teguh yang menyebutkan bahwa, "Jika Anda sebagai suami ingin didengar istri, maka tempatkanlah sebagai orang besar dihadapan istri. Jadilah suami yang bijaksana, berwibawa, penuh tanggung jawab, sehingga istri melihat Anda sebagai orang besar yang patut didengarkan," begitu pula hubungan kita dengan masyarakat.

Teori ini benar-benar berlaku di masyarakat. Contoh kecil saja. Byangkan ada seorang calon menteri yang extreamly kaya, lalu pada hari diangkatnya dia sebagai menteri, dia berkata, "Saya akan serahkan semua gaji saya untuk negeri! Bahkan separuh harta saya." Seketika itu juga masyarakat akan terperangah, shock, dan tiba-tiba melihat sosok yang begitu mengagumkan. Lalu peran ke-da'i-an-nya di masyarakat akan semakin dimudahkan. Ini sekedar contoh kecil saja. Dan kita butuh contoh-contoh nyata teladan yang ekstrim ini.

Jika ada pertanyaan siapa orang Indonesia yang ahli bikin chip? Jawabannya: orang Muslim. Siapa orang Indonesia yang jadi pengusaha paling sukses? Orang Muslim. Siapa orang Indonesia yang jadi professor dan dapat Nobel? Orang Muslim. Siapa orang Indoneisa yang dapet cap orang paling dermawan? Pasti orang Muslim! Muslim, Muslim, dan Muslim. Muslim berjaya karena Islam. Begitulah semestinya.

So? Mari kita hadirkan semangat itu dalam hati kita. Jadilah orang ekstrim baik, lalu hadirkanlan keteladanan ekstrim itu di masyarakat. Buktikan bahwa Islam itu tinggi, dan tiada yang lebih tinggi darinya, lalu perhatikan apa yang terjadi.

Saya agak terperangah dengan kalimat kang Hafiz yang katanya mengutip dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu'anhu, "Kalau ada 100.000 orang berjuang di jalan Allah, pasti saya ada di salah satunya, kalau ada 1000 orang berjuang, pasti saya salah satunya, kalau ada 10 orang berjuang, pasti saya salah satunya, kalau ada 1 orang berjuang, pasti itu adalah saya!".

Profesionalisme

Tak lengkap rasanya kalau saya tidak menyertakan apa yang saya sampaikan di Asrama Etos. Profesionalisme, dari kamus Merriam-Webster, berarti: "engaged in one of the learned" (see this). Tapi saya lebih suka menyebut profesinal sebagai sikap amanah (walau ada istilah lebih sering dipakai, yaitu, itqan). Amanah adalah sikap untuk menjaga dan memenuhi apa yang dititipkan kepadanya, termasuk dalam hal pekerjaan. Dengan amanah ini, seseorang akan termotivasi untuk selalu menjadi lebih baik dan selalu mencoba untuk bersikap 'professional'.

Lima hal yang saya rangkumkan berdasarkan pengalaman pribadi bergelut di dunia keprofesian adalah: niat, "passion", learn, practise, dan do'a.

_Niat_ adalah satu hal besar yang membedakan kita sebagai seorang Muslim dengan non-Muslim. Setiap hal, setiap waktu, setiap tetes keringat yang kita keluarkan tanpa disertai niat baik untuk beribadah, untuk memberikan sumbangsih pada Islam, maka akan sia-sia. Sungguh sayang jika seperti itu adanya.

_
"Passion"_ adalah rasa ketertarikan akan suatu bidang. Perlu bagi kita untuk menumbuhkan rasa ketertarikan terhadap bidang yang ingin kita profesionalisasi, sebagai bahan bakar yang akan menghembuskan semangat setiap kali menjalaninya.

_Learn
_, jangan berhenti belajar, jangan berhenti bertanya.

_Practise_, ada teori yang dilakukan Malcolm Gladwell tentang orang-orang menonjol di bidangnya, ternyata adalah mereka-mereka yang memberikan waktu lebih untuk mencoba, orang-orang yang sudah melebihi 10.000 jam mencoba.

_Do'a_
, adalah keistimewaan kita sebagai orang Muslim, yaitu senjata orang Muslim. Semua bisa terjadi atas takdir Allah, dan ada takdir yang bisa dirubah dengan berdo'a.

Pada akhirnya, banyak sekali hal yang bisa dilakukan sebagai pintu menuju profesionalisme. Pun tulisan ini akan panjang sekali kalau harus membahas semua point diatas secara detail. Intinya semua bermuara pada diri sendiri. Pada akhirnya, action-lah yang akan menjawab. Dan 'ku tak 'kan lelah untuk membagi ilmu ini kepada orang lain, karena "Hidup akan bermakna kalau sudah bermanfaat bagi orang lain." Semoga tulisan ini memberi inspirasi (ya2n).

Monday, October 19, 2009

Paradoks Kebebasan Ala Amerika

"Saking asingnya dengan shalat, pernah dua orang Muslim yang sedang shalat di samping minimarket di Texas ditangkap polisi karena pemilik toko menganggap itu bagian dari ritual terorisme"

Ustadz Muhammad Awod Joban, Imam masjid Olympia di negara bagian Washington, Amerika Serikat, pada senin 3 Maret 2003 membacakan doa secara Islam pada sidang pembukaan house of representatives (parlemen negara bagian) di State Capitol, Seattle. Alih-alih disambut baik, doa yang disampaikan oleh ustadz kelahiran Purwakarta, Jawa Barat ini malah disikapi dengan walk-out oleh dua perwakilan dari partai Republik (Seattle). Tak ada alasan yang jelas, selain tudingan bahwa doa tersebut menyuguhkan 'Patriotisme Islam.'

Padahal, bukan sekali ini ustadz asli Indonesia menampilkan Islam di muka publik. Amerika. Muhammad Syamsi Ali, pria asli Makassar yang jadi Imam di Masjid Al-Hikmah New York, bahkan pernah membacakan Al-Qur'an di hadapan George Bush dan Bill Clinton pada peringatan WTC 9/11 di Yankee Stadium, New York beberapa hari setelah tragedi tersebut.

Namun itulah Amerika. Kebebasan beragama dan mengekspresikan ajaran agama seringkali disikapi lain. Secara khusus untuk agama Islam, yang sangat mendapat sorotan pasca tragedi 9/11. Padahal, kebebasan beragama dilindungi oleh amandemen pertama konstitusi AS (Bill of Rights 1791).


***

Begitulah potongan buku "The Journal of Muslim Traveler." Paragraf-paragraf berikutnya kemudian menceritakan bagaimana rakyat Amerika yang begitu mengagung-agungkan kebebasan (freedom) dengan semangat "The American Dream" mereka. Dibalik itu mereka justru merong-rong kebebasan warga Mulism disana. Terlihat dari banyaknya film-film Hollywood yang mengambil setting Timur Tengah dan kerap kali menggambarkan sosok umat Islam yang sebagai kelompok yang sadis, radikal, sekaligus bodoh.

Juga sekalipun Amerika adalah negara sekuler, pemisahan antara negara dan agama, pun masalah doa dipermasalahkan. Dan jangan harap bisa menemukan masjid ataupun mushala di tempat-tempat publik. Shalat pun menjadi sesuatu yang asing bagi mereka. "Saking asingnya dengan shalat, pernah dua orang Muslim yang sedang shalat di samping minimarket di Texas ditangkap polisi karena pemilik toko menganggap itu bagian dari ritual terorisme," begitu tuturnya.

Maka bersyukurlah kita yang ada di Indonesia. Bisa beribadah dengan mudah, menemukan masjid dan mushala dimana-mana. Adzan terdengar keras menggema di sepanjang Kepulauan Indonesia. maka jangan sia-siakan kesempatan berharga ini. Dan bagi saudara-saudaraku di seantero jagad, dimanapun berada, negara sekuler, komunis, atheis, atau negara Islam, jagalah diri kalian, manfaatkan waktu sebaik mungkin untuk ibadah.

Betatapun kita tidak bisa memungkiri bahwa banyak saudara-saudara kita yang sekarang tinggal disana. Dan tak kita pungkiri bahwa geliat Islam di Amerika makin membaik. Tidak ada salahnya pula jika kita tinggal sejenak di negeri orang sekedar menimba ilmu disana. Seperti kata teman saya waktu bercerita perihal sejara Taufik Ismail, sang maestro puisi, "Tahu nggak, Taufik Ismail itu dulunya sekolah di Rusia." Lanjutnya, "Tahu sendiri kan, Rusia itu negara komunis. Waktu itu Taufik Ismail pas dapet beasiswa di Rusia bertanya kepada ayahnya."

Sejurus kemudian dia mengubah intonasinya dan berusaha memerankan Taufik Ismail yang berkata kepada ayahnya, "Bagaimana, Pak? Boleh ndak saya sekolah di Rusia." Ayah Taufik Ismail pun menyahut, "Nak, bagaikan batu bata, semakin dibakar akan semakin keras." Ya, batu bata akan semakin membaik kualitasnya jika telah melewati proses panjang nan melelahkan. Go on, bro! Semangat selalu.

*Untuk saudara-saudaraku dimanapun berada, Allah.. hafidz!! (a quote from a Pakistan brother who are currently living in Swedia for study)

Saturday, May 16, 2009

Krisis Keteladanan?

Tadi malam seorang teman menanyakan film yang sempat diberikan teman (yang lain) kepada saya. Judulnya adalah "Perempuan Berkalung Sorban". Kata dia, film ini mendapatkan penghargaan movie award atau entah apa lah. Tak heran sih, sinematografinya bagus, tapi eitts tunggu dulu, disisi lain, film ini sangat buruk dan tidak pantas dapat penghargaan. Karenanya kubilang pada temenku, "Sudah kudelete, filmnya ga layak ditonton."

Ceritanya punya cerita, Sabtu lalu setelah meeting, saya disodorkan sebuah film berjudul "Perempuan Berkalung Sorban". Benakku langsung berkata, kalo judulnya seperti itu, berarti itu film Islami. Eh tahunya, film ini film bermasalah. Dulu pernah denger sih, dan pernah lihat novelnya juga, dan pas baca sinopsisnya langsung males bacanya. Dan pas lihat filmnya, bukan males lagi,,, apa ya,,, muak? didn't find an appropriete word to say. Trus langsung kuberhentiin aja nontonnya, ku-skip-skip dan cari inti yg ingin disampaikan film ini.

Jelas ada yang salah dari pesan yang ingin disampaikan film ini. Bahkan MUI sudah menyatakan bahwa film ini layak ditarik dari peredaran karena kontra-produktif. Satu saja komentar saya: "Nampaknya Indonesia mengalami krisis keteladanan akut." Kenapa? Karena ternyata masih banyak yang sulit membayangkan bagaimana bisa hidup dengan bahagia dibawah koridor syari'at.

Terlalu naif jika mengatakan syari'at Islam mengkungkung wanita, merendahkan wanita, membuat wanita tidak bahagia. NOL besar. Laki-laki dan perempuan mendapat kedudukan yang sama, sejajar, dihadapan Allah. Hanya taqwa lah yang membedakannya. Sedangkan secara kodrat? Tentu beda. Ini sudah maklum, dan mudah dipahami.

Tentang bagaimana hubungan suami-istri, berikut saya kutip satu contoh, bagaimana indahnya keluarga dibawah koridor Islam. Berikut adalah surat terbuka seorang suami kepada istrinya yang shalihah, cukup panjang, tapi saya harap kita bersabar untuk membacanya karena sangat menarik:

Buat istriku yang kucinta, semoga engkau berbahagia.

Aku tidak tahu dari mana harus memulai menuliskan beberapa rumpun kalimat buatmu, wahai istriku. Aku juga tidak tahu apakah kepolosanku dan ketulusanku ini akan mendapat sambutanmu. Tapi aku tiada pedulikan itu. Yang pasti, aku hanya ingin engkau tahu bahwa aku adalah suamimu.

Aku tahu bahwa sebagai suami ternyata aku sangat membutuhkanmu, aku katakan ini sejujurnya. Lalu apakah engkau juga sangat membutuhkan aku, suamimu, wahai istriku? Maafkan aku atas pertanyaan ini. Bukan aku meragukan cintamu padaku, aku hanya ingin meyakinkan diriku. Sebab, kebanyakan istri kerabat maupun sahabat-sahabatku pun sangat besar rasa butuhnya terhadap suami mereka. Oleh sebab itulah aku mencarimu untuk kujadikan istri, sebab engkau adalah seorang wanita yang sholihah, lembut, sopan santun, mulia, bertakwa, suci, menjaga diri dan penuh kasih sayang.

Istriku, aku tidak segan-segan berterus terang kepadamu, meski hanya dalam bentuk goresan tinta kita ini di atas lembaran kertas yang juga milik kita, bahwa aku sangat membutuhkanmu. Dan aku tidak menginginkan dari itu semua selain agar tumbuh rasa dalam dada kita berdua akan pentingnya saling menjaga hubungan baik di antara kita. Dan bahwa hubungan yang baik itu jauh lebih mulia daripada kita berlomba-lomba dengan maksud agar diketahui siapa di antara kita berdua yang lebih unggul. Aku berharap engkau pun telah memahaminya.

Cerita selengkapnya silakan baca disini. Indah bukan? Ceritanya tidak berhenti disitu karena ternyata gayung pun bersambut, dibalas dengan surat dari sang istri kepada suami tercinta. Indah bukan?

Pertanyannya: adakah keluarga yang benar-benar indah seindah cerita dua orang suami-istri yang saling berkirim surat seperti itu? Jawabnya: ADA. Tentu ada. Dan banyak sekali.

Satu buku yang recommended untuk dibaca: "Sandiwara Langit". Buku ini menceritakan kisah nyata dua orang sejoli yang berjuang untuk tetap tegar dalam rumah tangga Islami. Sangat mengarukan. Sangat indah. Silakan lihat reviewnya disini.

Back to topic; saya mencoba untuk tidak terburu-buru dalam menilai film "Perempuan Berkalung Sorban". Mungkin Hanung berusaha mengangkat realita sebuah sudut kecil dalam kisah masyarakat kita. Tapi, Ah nggak segitunya dech. Ceritanya terlalu berlebihan, bahkan jadi kontra-produktif.

Saya hanya ingin mengajak, mari kita renungi kembali. Mungkin sebagian kita susah membayangkan apakah kehidupan ideal Rasulullah dan para shahabat bisa terwujud di zaman ini. Tapi coba renungkan sekali lagi. Lihatlah sekeliling kita. Lihatlah, disana ada sosok keluarga bahagia, seperti kisah dalam buku Sandiwara Langit itu. Kalau mereka bisa, kenapa kita tidak bisa?

Agaknya kita sudah terlalu silau dengan hingar-bingar kehidupan metropolitan yang tiap hari, tiap jam, tiap detik, disuguhkan oleh televisi, sehingga kita tak lagi mudah memberadai keteladanan keluarga Islami. Krisis keteladan. Ya, mungkin itu kalimat yang lebih tepat untuk menggambarkan kondisi kita saat ini. Dan tugas kita semua untuk bersama-sama beranjak untuk menghilangkannya. Wallahu a'lam.

Bandung 20, Alamanda, the day after work.

Sunday, April 19, 2009

Merayu Diri Mencintai Al-Qur'an

"Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku. Masuklah ke dalam surga-Ku." (Al-Fajr 27-30)




Ungkapan lembut tersebut adalah rayuan Allah kepada hamba-hamba-Nya yang juga disertai ajakan yang provokatif. Bagaimana mungkin kita tidak tergiur dengan rayuan semacam itu?

Kita bisa bekerja keras saat jiwa kita sedang asyik dengan Al-Qur'an. Tetapi di saat yang lain, kita mungkin mengalami kondisi keengganan yang besar, jangankan disuruh menghafal, sekedar melihat mushaf pun sangat tidak siap. Untuk kondisi seperti itu, kita perlu merayu diri sendiri, merenungi kehidupan kita sendiri sambil mencari bahasa apa yang dapat membangkitkan energi kita untuk kembali bekerja: meraih cita-cita hidup bersama Al-Qur'an.

Berbagai permasalahan umum pada diri kita saat berinteraksi dengan Al-Qur'an antara lain:

1. Kita sadar sepenuhnya bahwa tilawah setiap hari adalah keharusan, tetapi jiwa kita belum siap untuk komitmen secara rutin sehingga dalam sebulan, begitu banyak hari-hari yang terlewatkan tanpa tilawah Al-Qur'an.

2. Kita paham bahwa menghafal Al-Qur'an adalah kemuliaan yang besar manfaatnya, tetapi jiwa kita belum siap untuk meraihnya dengan mujahadah.

3. Kita sadar bahwa masih banyak ayat yang belum kita pahami, namun jiwa kita tidak siap untuk melakukan berbagai hal guna memahami isi Al-Qur'an bahkan hal minimal untuk memahaminya.

4. Kita sadar bahwa mengajarkan Al-Qur'an sangat besar keutamaannya, tetapi karena minimnya apresiasi dan penghargaan ummat terhadap para pengajar Al-Qur'an, sangat sedikit yang siap menjadi pengajar Al-Qur'an.

5. Kita paham bahwa shalat yang baik, khususnya shalat malam, adalah shalat yang panjang dan sebenarnya kita mampu membaca sekian banyak ayat, namun jiwa kita tidak tertarik terhadap besarnya keutamaan membaca Al-Qur'an didalam shalat.

6. Kita sadar bahwa dakwah dijamin oleh nash Al-Qur'an dan Allah subhanahuwata'ala akan memberikan kemenangan, namun jiwa kita tidak sabar dengan prosesnya yang panjang sehingga cenderung meninggalkan atau lari dari medan dakwah.

7. Kita paham betul bahwa banyak keutamaan di dunia dan akhirat bagi manusia yang berinteraksi dengan Al-Qur'an, tetapi keutamaan tersebut hanya menjadi pengetahuan, tidak mampu menghasilkan energi yang besar untuk beristiqomah alam berinteraksi dengan Al-Qur'an.

8. Kita paham dengan sangat jelas bahwa semua tokoh Islam di atas bumi ini adalah orang-orang yang telah berhasil dengan ilmu Al-Qur'an dan mereka pun menguasai kehidupan dunia, namum jiwa kita enggan mempersiapkan generasi mendatang yang hidupnya berada dibawah naungan Al-Qur'an.

*Oleh-oleh Daurah Al-Qur'an, salah satu materi yang disampaikan ust Abu Yahya, 19 April 2009.

Tuesday, April 7, 2009

Jangan Tergesa-gesa

Kita tidak hidup dalam masyarakat ideal; belum ideal,
Kehidupan yang hanya duniawi belaka, pergaulan yang terlampau batas, mengumbar syahwat,
Kerja yang malas-malasan, tidak sehat, kecurangan, tidak amanah.

Tak ada Islam dalam kamusnya,
Tak ada Masjid dalam pikirnya,
Tak ada Al-Qur'an dalam rindunya.

Apa itu?
Apakah untuk dunia yang fana dan semu?
Apakah untuk pergaulan yang menjerumuskan?
Apakah untuk kesenangan melenakan?

Sempit, menyesakkan hati,
Lalu seseorang berteriak tak sabaran,
"Kenapa begini kenapa begitu?"
Tapi orang bijak menimpali,
"Jangan tergesa-gesa, walau begitu, kita hidup ditengah-tengah mereka."

Jazirah Arabia 14 abad yang lalu,
Ketika itu, seorang shahabat mengadu kepada Rasulullah,
"Wahai Rasulullah SAW, tidakkah engkau berkenan untuk berdo’a bagi kami? Tidakkah engkau berdo’a agar dakwah ini segera mendapatkan kemenangan?"

Mendengar ini Rasulullah bersadba,
"Kalian ini belum seberapa. Orang-orang sebelum kalian pernah mengalami peristiwa yang lebih mengerikan. Musuh Allah menggali lubang, lalu ada yang dimasukkan ke dalam lubang, kemudian digergaji kepalanya menjadi dua. Ada juga yang disisir dengan sisir besi sehingga kulitnya mengelupas dari tulang-tulangnya. Tetapi itu semua tidak membuatnya bergeser dari agamanya. Demi Allah, agama ini akan mengalami kemenangan sehingga seseorang yang berjalan dari hadlramaut hingga ke San’a tidak merasa takut kepada sesuatu pun melainkan takut kepada Allah. Maka kalian jangan tergesa-gesa."

Kini, kita tidak hidup ditengah masyarakat ideal. Maka jangan Isti'jal, jangan tergesa-gesa. Isti'jal adalah keinginan untuk segera merasakan dan memetik hasil perjuangan. Kita perlu mengambil pelajaran dari kisah shahabat tadi. Bahwa mengambil jalan Islam berarti harus bersabar, tidak isti'jal. Islam akan dimenangkan, itu adalah keniscayaan. Seorang Muslim sejati akan beruntung, itu adalah keniscyaan. Tapi kemenangan dan keberuntungan sejati itu adalah tetapnya kita dalam jalan lurus ini, istiqomah-nya kita dalam ber-Islam ini. Bagaikan ikan, yang tetap tawar walau harus hidup ditengah lautan yang rasanya asin.

Maka jangan tergesa-gesa. Semua ada prosesnya. Apakah Nuh gagal dalam dakwahnya karena sedikitnya pengikut? Tidak! Bahkan Nuh termasuk Nabi-Nabi istimewa Ulul Azmi. Karena kesabarannya menghadapi dunia, dan istiqomah di jalan-Nya. "Nuh berkata: "Ya Tuhanku sesungguhnya aku telah menyeru kaumku malam dan siang, maka seruanku itu hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran). Dan sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka (kepada iman) agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke dalam telinganya dan menutupkan bajunya (kemukanya) dan mereka tetap (mengingkari) dan menyombongkan diri dengan sangat. Kemudian sesungguhnya aku telah menyeru mereka (kepada iman) dengan cara terang-terangan, kemudian sesungguhnya aku (menyeru) mereka (lagi) dengan terang-terangan dan dengan diam-diam."

Nuh telah berdakwah siang dan malam, kalau tidak berhasil secara sembunyi, secara terang-terangan. Dan seluruh hidupnya, seribu tahun lamanya, tetap dalam kesabaran, menanti kemenangan. Dan Allah telah menetapkannya kemenangan sejati Nuh alaihissalam karena kesabaran dan istiqomahnya, tidak tergesa-gesa, tidak isti'jal.

Maka kita perlu mengambil pelajaran dari mereka, yang tidak tergesa-gesa dan bersabar. Terus meniti jalan-Nya walau penuh onak dan duri. Karena kemengangan dan keberuntungan sejati adalah ketika kita istiqomah di jalan-Nya, bersabar atasnya, dan tidak tergesa-gesa. Wallahu a'lam.

Tuesday, March 24, 2009

Cubic Cube dalam Cubic Cube

Cerita ini berawal dari obrolan dengan temanku yang ingin meneruskan sekolah ke janjang lebih tinggi di ITB. Saya baru tahu kalau kurikulum ITB sekarang baru; beda. Semenjak merubah diri dari Program Studi Teknik Elektro menjadi Sekolah Teknik Elektro dan Informatika. Apanya yang beda? yang jelas lebih terintegrasi. Dan yang paling mencolok adalah munculnya sempalan baru yaitu Information Technology Group.

Saya sendiri lulus dari major Elektronika. Yang menarik perhatian saya kemudian, tentunya, adalah kurikulum major Elektronika, yang kalau untuk graduate study disebutnya Mikroelektronika. Ternyata ga jauh beda! Kirain.

Apa nya yang ga jauh beda? Gado-gado-nya. Saya sudah mencoba buka-buka situs Universitas luar yang menawarkan major di bidang Mikroelektronika. Kurikulum mereka cenderung lebih fokus, kalau boleh saya nilai. Contoh kasusnya adalah pemisahan antara VLSI yang lebih cenderung pada Computer Engineering dengan Nanotechnology yang lebih cenderung pada Microelectronics.

Tapi di ITB? Bayangkan, ada kuliah Intelligent System Design dan Nanotechnology dalam major yang sama. Saya bicara dalam hal graduate programe lho ya, bukan undergraduate. Wajar? Menurut saya tidak. Terlalu lebar dan tidak fokus.

Teman saya berkomentar lain. "Kalau cuma begitu (memisahkan VLSI dengan nanotech-red), dirimu cuma jadi programmer," katanya.

"Saya rasa elektro itu seperti cubic cube, goal-nya adalah membuat semua sisi mempunyai warna seragam. Tapi kita hanya lihat maksimal 3 sisi. Saat kita puter untuk merapikan satu sisi, kadang kita lupa kalo perputaran itu juga mempengaruhi yang lain. Saat kita putar tanpa memikirkan sisi yang lain, yang terjadi, kita hanya bisa membenarkan warna 1 sisi saja. Padahal masih ada 5 sisi yang ternyata belum rapi. 1 perubahan akan membawa perubahan pada yang lain. Konsiderasi, tidak bisa dilihat hanya 1 sisi." tambahnya mantap.

Saya antara setuju dan nggak setuju. "Tetep aja cuma 3 sisi yg bisa kita lihat, jangan muter2 tapi ga fokus.". Jadi nggak bertentangan donk, dengan pernyataanku, bahwa kita perlu fokus dalam mengerjakan suatu bidang, termasuk elektro. Fokus bukan berarti mengabaikan hal-hal lain. Fokus bukan berarti hanya melihat persoalan dari satu sisi saja. Masih inget postingan saya tahun lalu?

Saya setuju dengan perumpamaan cubic cube itu. Dan justru saya melihat lebih dalam lagi, bahwa segala sesuatu bisa dipandang sebagai cubic cube. Coba saja, program studi Teknik Elektronika hanya bagian dari STEI (Sekolah Teknik Elektro dan Informatika), STEI hanya bagian dari ITB, ITB hanya bagian dari seluruh civitas akademia Indonesia. Lebih jauh lagi, ilmu Elektro ini hanya bagian dari Ilmu-ilmu lain yang saling berkait, lebih jauh lagi, semua adalah bagian dari kehidupan yang dibungkus dalam satu kaidah besar: Islam.

Saya berikan sedikit ilustrasi. Dalam membuat produk bernama "SoC chip", diperlukan minimal 4 group utama, modeling engineer, RTL engineer (hardware), software engineer, dan layout/physical engineer. Nah, masih-masing group membidangin bidang yang berbeda. Orang software mana ngerti gimana cara layout. Orang modeling mana ngerti gimana bikin software.

Tapu kalau tahu? Yup, tahu. Hanya sekedar tahu tapi tidak mengerti tidak mendalami. Itulah mengapa pentingnya mengadiri meeting rutin antar group, ehehe. Kita mengurusi satu hal (istilahnya 3 bidang cube yang terlihat), tapi bukan berarti mengabaikan sisi bidang lain. Fokus! Beda dengan cuek. Sama halnya dengan kuliah 'kan? Harus fokus, tapi tidak mengabaikan kuliah-kuliah lainnya.

Kalau mau melihat Elektro sebagai sebuah cubic cube saja, saya pikir kurang. Elektro adalah cubic cube dalam cubic cube yang lebih besar. Seorang engineer elektro tidak hanya hidup dalam ruang linkgup elektronika, tapi juga ruang lingkup masyarakat, negara, bahkan untuk ukuran terkecil: keluarga. Semua ada cubic cube yang harus ditempatkan pada posisi dan porsinya masing-masing.

Much more bigger, everything is a cubic cube in a cubic cube, it's just a matter about how we manage them so that everything become harmony. (ya2n)
Wednesday, March 18, 2009

Zaid; Cinta Itu Menggerakkannya

"Anda adalah seorang pemuda yang cerdas dan kami tidak meragukanmu", kata khalifah Abu Bakar kepada Zaid bin Tsabit.

Siapa tak kenal Zaid bin Tsabit, sang juru tulis Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam. Kedekatannya dengan Al-Qur'an mengantarkannya pada derajat ulama di kalangan shahabat. Setelah Rasulullah wafat, Zaid dijadikan rujukan utama jika ada yang ingin bertanya tentang Al-Qur'an. Karena kemampuan itu, saat Umar Bin Khatab menjadi khalifah, Umar pernah berfatwa, “Hai manusia, siapa yang ingin bertanya tentang Al Qur’an, datanglah kepada Zaid Bin Tsabit….”.

Di masa Abu Bakar Siddiq menjadi khalifah, Zaid menjadi ketua kelompok yang bertugas menghimpun Al Qur’an. Dan dimasa pemerintahan Ustman Bin Affan, ia menjadi ketua tim penyusun mushaf Al Qur’an. Begitulah, buah cinta Zaid pada Al-Qur'an menggerakkannya untuk menjadi ulama Al-Qur'an.

Kebesaran nama Zaid Bin Tsabit dan kedalaman ilmu yang dimilikinya menjadi sebuah kehilangan besar ketika tiba waktunya ia pergi menghadap Illahi Robbi. Kaum muslimin bersedih karena mereka kehilangan seseorang yang dihatinya bersarang ilmu Al Qur’an. Bahkan Abu Hurairah mengungkapkannya sebagai kepergian Samudera Ilmu. Begitulah Zaid Bin Tsabit dengan keluasan ilmu Al Qur’an yang ia miliki.

***

Tapi siapa sangka, pada Zaid kecil, tidak terpikir dalam dirinya akan menjadi ulama besar. Zaid kecil memikirkan cara lain untuk menjadi penegak panji-panji Allah. Di usianya yang baru 13 tahun, Zaid mendatangi Rasulullah yang kala itu sedang mengadakan persiapan perang. Zaid kecil datang membawa sebilah pedang, yang lebih panjang dari tinggi badannya, menemui Rasulullah.

Dengan penuh semangat dan percaya diri, Zaid kecil berkata kepada Rasulullah, "Saya bersedia syahid untukmu wahai Rasulullah. Ijinkan saya pergi berjihad bersama anda untuk memerangi musuh-musuh Allah, dibawah panji-panjimu". Rasulullah tertegun. Melihat bocah kecil penuh semangat ini, Rasulullah gembira dan takjub. Beliau menepuk pundak Zaid lalu berkata bahwa permintaan Zaid tidak bisa dikabulkannya. Zaid masih terlalu kecil untuk terlibat dalam peperangan.

Zaid yang tadinya datang menemui Rasulullah dengan semangat berapi-api dan penuh percaya diri, pulang dengan rasa kecewa. Zaid kecil pun menangis tersedu dan mengadukan hal ini kepada ibunya. Berharap bisa membantunya membujuk Rasulullah agar diperbolehkan ikut berjihad. Atas nama cinta. Ya, atas nama cinta.

Ibunda Zaid pergi menemui Rasulullah, mengajukan permohonan agar putra tercintanya diperbolehkan ikut berjuang dijalan Allah. Nuwar Binti Malik, ibunda Zaid, pun menghadap Rasulullah menyampaikan kelebihan Zaid kecil; hapal tujuh belas surah dengan bacaan yang baik dan benar, serta mampu membaca dan menulis dengan bahasa arab dengan tulisan yang indah dan bacaan yang lancar. Lalu Rasulullah meminta Zaid mempraktekan apa yang dikabarkan tentang dirinya oleh ibunya.

Rasulullah kagum, ternyata kemampuan Zaid lebih bagus dari yang disampaikan ibunya. Rasulullah meminta Zaid belajar bahasa Suryani dan bahasa Ibrani, bahasa orang Yahudi. Berita gembira itu disambut Zaid dengan suka cita. Kalau tidak bisa ikut berperang, Zaid kecil masih bisa memperjuangkan Islam dengan ilmu.

Lalu Zaid pun mempelajari bahasa Suryani dalam 17 hari, dan bahasa Ibrani dalam 15 hari. Dalam waktu singkat, Zaid menguasai bahasa itu. Setiap kali Rasulullah mendapat surat atau membalas surat kepada orang Yahudi, beliau meminta Zaid melakukannya. Di usianya yang sangat muda, Zaid menjadi orang kepercayaan Rasulullah, karena kemampuannya membaca dan menghapal Al-Qur'an. Rasulullah pun mempercayakan Zaid untuk selalu menuliskan wahyu yang turun kepada Rasulullah.

Semangat Zaid kecil berubah dari menghunus pedang di medan pertempuran, menjadi seorang yang mendapat amanah besar menjaga Al-Qur'an. Atas nama cinta. Ya, cinta itu menggerakannya. Dan zaid mendapat kedudukan sebagaimana para syuhada yang membela Islam dan gugur di medan pertempuran. Allah kariim. Semoga Allah subhanahu wata'ala merahmati dan memberi beliau tempat yang layak disisi-Nya.

Begitulah Zaid Bin Tsabit. Kecintaanya yang besar terhadap Islam, menggerakkannya untuk berjuang apapun jalan yang harus ditempuhnya. Semoga kita dianugerahi rasa cinta sebagaimana cinta Zaid bin Tsabit. Amiin. (ya2n)
Monday, March 16, 2009

Senyum Yuk!

Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam adalah sosok yang kita jadikan sebagai tauladan dalam setiap nafas kehidupan kita. Dari semua aspek kehidupannya, termasuk ukhuwah yang diajarkan beliau kepada para shahabat.

Coba simak hadits berikut yang menggambarkan bagaimana hal-hal kecil yang sering kita lupakan dalam hubungan terhadap sesama, ternyata diajarkan oleh Nabi kita shalallahu 'alaihi wa sallam:

Muslim meriwayatkan dari Abu Dzar radhiyallahu 'anhu, ia berkata, "Nabi shalallahu 'alaihi wasallam pernah bersabda kepadaku: 'Sesekali janganlah engkau meremehkan kebaikan meskipun sekedar bertemu saudaramu dengan wajah ceria' " (hadits dari Riyadush-Shalihin)

Wednesday, March 11, 2009

Melejitkan Potensi

Singkat cerita dalam sebuah kajian, dalam hal ini lebih spesifik: kajian dakwah fardhiyah, salah seorang peserta mengemukakan pengalamannya. Ada dua permasalahan yang dia ungkapkan.

Pertama, katanya, "Sering kita menganggap diri kita belum cukup ilmu, sehingga ketika sudah ada niatan untuk mengajak orang, niat tersebut diurungkan. Takut karena merasa masih kurang ilmunya."


Kedua, tambahnya, "Sering kita terlalu menimbang-nimbang orang. Apakah kira-kira orang ini mau untuk diajak ngaji atau nggak, sehingga sering mengurungkan niatnya karena takut tidak diterima."


Sebenarnya teori sudah banyak disampaikan ustadz dalam berbagai kesempatan membahas kajian tentang dakwah. Ustadz pun lalu berusaha menjawab dengan contoh agar lebih mengena dan mudah dibayangkan.

Pertama, jawabnya, mari kita belajar dari saudara-saudara kita di Jamaah Tabligh. Terlepas dari beberapa kekurangan mereka, diantaranya banyak menukil hadits-hadits dhaif dalam kitab Fadhailul A'mal, mereka sangat gencar dalam hal mengajak orang untuk keliling ke masjid-masjid, istilah mereka khuruj.

Padahal, seperti yang sudah saya sebut, secara ilmiah (saya berusaha objektif), ilmu mereka masih kurang. Disinyalir dengan banyaknya mereka menukil hadits-hadits dhaif, dan (dulu, tidak tahu kalau sekarang) kajian yang dibahas kebanyakan diambil dari kitab Fadhailul A'mal tersebut. Akan tetapi lihatlah, orang yang baru ikut khuruj pun ikut-ikutan mengajak siapapun yang bisa mereka ajak. Jadi melihat pengalaman orang, tidak ada alasan bagi kita untuk takut karena masih kurang ilmu. *

Jawaban kedua, mari kita simak pengakuan beberapa ikhwan yang disiarkan langsung pada launching program Wahdah yang juga sempat saya ikuti melalui saluran paltalk dan live streaming web hari Senin (9/3) lalu.

Cerita ikhwan pertama kira-kira begini,

Saya mempunyai teman yang akhlaknya sangat bagus. Saya tertarik dengan akhlak teman saya ini. Sudah lama saya memperhatikan dia karena dia terlihat beda dari teman-teman pada umumnya. Sebetulnya saya ingin kenal dengannya tapi teman saya ini pendiam dan jarang bicara. Sampai suatu ketika, dia mendekati saya berkata, "Akhi, ada acara Bedah Buku di SMA 11, ikut yuk". Nah, ini dia, kata-kata ini yang sudah lama saya tunggu-tunggu. Akhirnya saya diajak untuk lebih mengenal Islam dengan benar. Sejak saat itulah saya terus semangat dan aktif dalam kegiatan ta'lim dan tarbiyah.


Cerita ikhwan kedua kira-kira begini,

Saya termasuk genk SMA di sekolah saya dulu. Eh, tiba-tiba ada seseorang yang mendekati saya dan mengajak ke kajian. Nggak salah pa? Mengajak saya, genk SMA, ikut ke pengajian. Saya pun mencoba ikut dalam pengajian terebut, dan orang-orang pada heran, ada "preman" ikut kajian. Ah, ternyata yang terjadi kemudian tidak disangka sebelumnya, dan saya menemukan hidayah dari sana.

Nah, sahabat, tidakkah kisah ini cukup memberikan bukti bagi kita bahwa hidayah bisa datang kepada siapa saja. Tidak usahlah berperasangka "orang ini sepertinya baik, orang ini sepertinya buruk". Ajaklah siapapun yang bisa kita ajak. Dan hasilnya? Serahkan sepenuhnya kepada Allah.

"Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk. " (QS Al-Qashash: 56)

Ada satu kisah menarik dalam sirah Nabawiyyah ketika saat itu Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam sedang dalam kegentingan perang Uhud.

Bukhori-Muslim meriwayatkan dari Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu, ia berkata "Seolah aku menyaksikan Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam tengah mengisahkan seorang Nabi pendahulu beliau yang dipukul oleh kaumnya sampai berdarah, saat beliau (di medan Uhud) mengusap darah di wajahnya seraya berdo'a: Allaahummaghfir liqoumii fa innahum laa ya'lamuun" (Ya Allah, berilah ampunan kepada kaumku ini, sebab mereka belum tahu)

Juga kisah perjalanan Rasulullah ke Thaif untuk mencari wilayah aman, yang kemudian disambut dengan lemparan batu oleh orang-orang Thaif waktu itu sampai berdarah. Ketika hendak meneruskan perjalanan pulang ke kota Mekkah, mereka bertemu dengan Malaikat Jibril yang ditemani oleh Malaikat Penjaga Gunung. Malaikat Jibril berkata kepada Rasulullah,

“Sesungguhnya Allah telah benar-benar mendengar perkataan kaummu, Allah pun mendengar penolakan mereka kedadamu, dan Dia telah mengutus malaikat penjaga gunung kepadamu, supaya engkau perintahkan kepadanya untuk berbuat apa yang kau kehendaki bagi penduduk Thaif”. Malaikat Gunung kemudian mengikuti perkatan Jibril, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah mendengar perkataan kaummu kepadamu, dan sesungguhnya Allah telah mengutus aku bagimu, jika sekiranya engkau kehendaki aku untuk melipatkan kedua gunung yang besar ini (yang ada diantara kota Mekkah dan Kota Thaif) maka tentu akan kukerjakan.”

Tetapi Rasulullah yang mulia tidak sependapat dengan penawaran kedua malaikat tersebut, Rasulullah menjawab , “Tidak, bahkan aku mengharapkan semoga Allah mengeluarkan dari keturunan mereka, orang orang yang menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun.” Kemudian Rasul berdo’a kepada Allah bagi orang-orang Thaif yang telah menghina dan menyakiti beliau dengan do’a yang sangat indah dan penuh kasih sayang:

“Ya Allah berikanlah petunjuk kepada kaumku, Karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui”.

Demikianlah, dan benarlah, pada masa kejayaan Islam, banyak 'ulama yang lahir dari derah Thaif ini.

Nah, jadi, cerita diatas adalah bukti bahwa kita tidak perlu khawtir apakah orang mau menerima dakwah kita atau tidak. Kita perlu melejitkan potensi yang sebenarnya terpendam di hati teman-teman atau saudara kita yang menunggu kita untuk menggugahnya. Yup, dengan dakwah fardhiyah dan ta'liful qulub, mendekati dari hati ke hati.

Semoga Allah ta'ala senantiasa menaungi kita dalam hidayah dan taufiknya, serta memberikan hidayah-Nya kepada orang-orang yang kita cintai. Allahumma inni as alukal huda, wat tuqo, wal 'afaafa, wal ghina. Wallahu a'lam, semoga bermanfaat. (ya2n)

* Silakan update info-nya berkenaan dengan khuruj ini, kalau memang sekarang tidak demikian, saya sudah lama tidak beinteraksi dengan mereka (Jamaah Tabligh).

Tuesday, March 3, 2009

Sabaqoka 'Ukasyah; Kamu Sudah Keduluan 'Ukasyah

Suatu ketika saya mengikuti dauroh masyaikh Saudi. Seperti biasa, setelah materi ada pertanyaan yang disampaikan, dan biasanya ada hadiah yang diberikan kepada peserta yang berhasil menjawab. Hadiah biasanya berupa buku berbahasa Arab.

Kebetulan untuk saat itu belum ada hadiah yang disiapkan. Tetapi pertanyaan tetap disampaikan panitia untuk sekedar mengecek penyerapan materi para peserta dauroh.

Salah seorang peserta mengacungka jari dan berusaha menjawab pertanyaan tersebut dan ternyata benar. Syaikh kemudian tersenyum lalu memberikan iPod-nya kepada peserta tadi. "Karena tidak ada hadiah, ini saja". Kira-kira begitu ucapnya. Wah, suatu kebetulan yang jarang. Peserta tadi pun senang karena mendapat pemberian istimewa.

Pertanyaan kedua pun dilontarkan panitia, lalu beberapa peserta berebut mengacungkan jari. Salah seorang peserta menjawab dengan tepat. Tapi kali ini tidak dapat hadiah. Syaikh lalu tersenyum dan berkata, "Sabaqoka 'Ukasyah". Artinya, "kamu sudah keduluan Ukasyah".

Momen ini kemudian dimanfaatkan syaikh untuk menjelaskan kisah 'Ukasyah yang memang banyak peserta yang belum mendengar kisah ini.

'Ukasyah, salah satu shahabat yang memberi saya ispirasi. Dengan semangatnya, dia yang paling duluan memohon agar dimasukkan kedalam golongan umat Rasulullah di syurga kelak. Termasuk dalam 70 ribu orang yang masuk syurga tanpa hisab. Maka ketika shahabat lainnya ikut-ikutan meminta dimasukkan ke syurga, maka Rasulullah menjawab, "Sabaqoka 'Ukasyah"; Kamu sudah keduluan 'Ukasyah. Berikut kisah selengkapnya.


Dari Ibnu 'Abbas, Nabi SAW bersabda:

"Telah dipertunjukkan kepadaku umat-umat. Aku melihat seorang Nabi,
bersamanya beberapa orang; dan seorang nabi, bersamanya satu dan dua
orang; serta seorang nabi, dan tak seorang pun bersamanya. Tiba-tiba
ditampakkan kepadaku suatu jumlah yang banyak; aku pun mengira bahwa
mereka itu adalah umatku, tetapi dikatakan kepadaku; Ini adalah Musa
bersama kaumnya. Lalu tiba2 aku melihat lagi suatu jumlah besar
pula, maka dikatakan kepadaku: Ini adalah umatmu, bersama mereka ada
tujuh puluh ribu orang yang mereka itu masuk surga tanpa hisab dan
tanpa adzab.

Kemudian bangkitlah beliau dan segera memasuki rumahnya. Maka orang2
pun memperbincangkan tentang siapakah mereka itu. Ada diantara
mereka yg berkata: Mungkin saja mereka itu yg menjadi sahabat
Rasulullah. Ada lagi yg berkata: Mungkin saja mereka itu orang2 yg
dilahirkan dalam lingkungan Islam, sehingga mereka tidak pernah
berbuat syirik sedikitpun kpd Allah. Dan mereka menyebutkan lagi
beberapa perkara yg lain.

Ketika Rasulullah keluar mereka memberitahukan hal tersebut kepada
beliau. Maka beliau bersabda: Mereka itu adalah orang2 yang tidak
meminta ruqyah, tidak meminta supaya lukanya ditempel dengan besi
yang dipanaskan, tidak melakukan tathayyur, dan mereka pun
bertawakal kepada Tuhan Mereka. Lalu berdirilah 'Ukasyah bin Mihsan
dan berkata: Mohonkanlah kepada Allah agar aku termasuk golongan
mereka. Beliau menjawab: Kamu termasuk golongan mereka. Kemudian
berdirilah seorang yg lain dan berkata: Mohonkanlah kepada Allah
agar aku juga termasuk golongan mereka. Beliau menjawab: Kamu sudah
keduluan 'Ukasyah." (HR Bukhari dan Muslim)