Belum lama ini saya mendengar berita dari NPR (npr.org) yang kebanyakan mengulas peristiwa insiden penembakan di markas tentara AS - Fort Hood, Texas - oleh seorang Major bernama Nidal M Hasan. Huff.. Saya hanya bisa menghela nafas. Warga Muslim AS kontan mengeluarkan sikap kecaman atas tindakan tersebut, agar tidak berbuntut pada hal yang tidak diinginkan. Yaitu munculnya sikap anti-Muslim, disaat AS, dengan presiden barunya, Obama, sedang berupaya memperbaiki hubungan dengan Muslim dunia.
''Insiden ini sangat mengerikan," kata Imam Elsayyed Shaker, imam besar Masjid Dar Al-Hijrah di Falls Church, Virginia. Belasungkawa juga diucapkan Iqbal Khaled, wakil direktur AAMS Islamic Center di Virginia. ''Kami merasa sangat sedih,'' ucapnya, seperti yang dilansir oleh Republika Online.
Bagaimanapun juga, tindakan ini tidak dibenarkan. Peristiwa ini hanya akan berimbas pada munculnya sikap atipati rakyat AS terhadap komunitas warga Muslim disana. Spekulasi pun bermunculan seakan ingin memicu wacana menyudutkan warga Muslim disana, yang notabene satu agama dengan pelaku insiden penembakan Fort Hood tersebut.
Patriotisme yang dibenturkan
Saya sangat sulit membayangkan jika suatu ketika, harus berhadapan langsung dengan saudara-saudara kita sesama Muslim di medan pertempuran, hanya karena tuntutan pekerjaan. "Contradiction of being a Muslim and serving in an army that is fighting against his own people."
Mungkin ketika seseorang memilih jalur karirinya sebagai tentara, awalnya punya motivasi tinggi untuk membela tanah-airnya, membela negerinya, menjadi seorang patriot, pahlawan, atau someone who became a hero to his country, sah-sah saja. Tapi siapa sangka patriotisme itu suatu saat akan diuji, siapa yang lebih engkau pilih, patriotisme kah? Atau idealisme?
Ah, saya berharap saudara-saudara kita yang berada di posisi itu diberi kekuatan untuk tetap menjunjung tinggi idealisme mereka sebagai seorang Muslim. Ingatlah saya akan cerita teman-teman tentang situasi kerja di tempat mereka bekerja. Kebetulan mereka bekerja di perusahaan asing, perusahaan non-Indonesia. Kadang teman-teman saya harus merelakan idealisme mereka sebagai seorang Muslim hanya karena tuntutan pekerjaan. Bagi mereka itu pilihan yang sulit.
Dan itu tak hanya berlaku di pekerjaan loh. Di organisasi pun ada kalanya begitu. Kadang kita diuji untuk memilih antara mengikuti peraturan organisasi atau tetap dalam idealisme. Misalnya, kalau dalam organisasi, ketika ada acara malam yang mengharuskan ikhtilat, campur-baur-nya laki-laki dan perempuan tanpa mengindahkan kaidah syar'i, mana yang engkau pilih?
Hidup memang sering berbenturan. Kita harus akui itu. Seperti yang saya bilang di awal, saya sendiri tak bisa membayangkan berada di posisi Major Nidal M Hasan, ketika harus berangkat ke Iraq, berposisi sebagai musuh warga Muslim Iraq disana. Saya hanya bisa bersyukur bahwa Allah menjauhkan diri saya dari benturan-benturan idealisme semacam itu. Saya hanya bisa bersyukur, dan mudah-mudahan terus bersyukur, untuk masih berada di tubuh yang sama, merasakan pahit dan sedih yang sama, "Perumpamaan orang-orang beriman dalam hal saling mencintai, mengasihi, dan saling berempati bagaikan satu tubuh. Jika salah satu anggotanya merasakan sakit maka seluruh tubuh turut merasakannya dengan berjaga dan merasakan demam." (HR. Muslim)
Terakhir saya tuliskan,
Ketika "patriotisme itu dibenturkan",
Mari do'akan semoga Allah memberi kekuatan. (ya2n)
1 comment:
nggak usah jauh2. Banyak lho WN Amerika yang Muslim. Mereka kan bayar pajak ke pemerintahnya. Nah kalau pemerintahnya kirim tentara ke Iraq dan Afghanistan, itu kan pakai uang pajak rakyatnya? Jadi gimana?
Solusi paling baik yang pernah saya baca adalah konsepnya Tariq Ramadan -> coba aja cari di google :-)
Post a Comment