Monday, October 19, 2009

Paradoks Kebebasan Ala Amerika

"Saking asingnya dengan shalat, pernah dua orang Muslim yang sedang shalat di samping minimarket di Texas ditangkap polisi karena pemilik toko menganggap itu bagian dari ritual terorisme"

Ustadz Muhammad Awod Joban, Imam masjid Olympia di negara bagian Washington, Amerika Serikat, pada senin 3 Maret 2003 membacakan doa secara Islam pada sidang pembukaan house of representatives (parlemen negara bagian) di State Capitol, Seattle. Alih-alih disambut baik, doa yang disampaikan oleh ustadz kelahiran Purwakarta, Jawa Barat ini malah disikapi dengan walk-out oleh dua perwakilan dari partai Republik (Seattle). Tak ada alasan yang jelas, selain tudingan bahwa doa tersebut menyuguhkan 'Patriotisme Islam.'

Padahal, bukan sekali ini ustadz asli Indonesia menampilkan Islam di muka publik. Amerika. Muhammad Syamsi Ali, pria asli Makassar yang jadi Imam di Masjid Al-Hikmah New York, bahkan pernah membacakan Al-Qur'an di hadapan George Bush dan Bill Clinton pada peringatan WTC 9/11 di Yankee Stadium, New York beberapa hari setelah tragedi tersebut.

Namun itulah Amerika. Kebebasan beragama dan mengekspresikan ajaran agama seringkali disikapi lain. Secara khusus untuk agama Islam, yang sangat mendapat sorotan pasca tragedi 9/11. Padahal, kebebasan beragama dilindungi oleh amandemen pertama konstitusi AS (Bill of Rights 1791).


***

Begitulah potongan buku "The Journal of Muslim Traveler." Paragraf-paragraf berikutnya kemudian menceritakan bagaimana rakyat Amerika yang begitu mengagung-agungkan kebebasan (freedom) dengan semangat "The American Dream" mereka. Dibalik itu mereka justru merong-rong kebebasan warga Mulism disana. Terlihat dari banyaknya film-film Hollywood yang mengambil setting Timur Tengah dan kerap kali menggambarkan sosok umat Islam yang sebagai kelompok yang sadis, radikal, sekaligus bodoh.

Juga sekalipun Amerika adalah negara sekuler, pemisahan antara negara dan agama, pun masalah doa dipermasalahkan. Dan jangan harap bisa menemukan masjid ataupun mushala di tempat-tempat publik. Shalat pun menjadi sesuatu yang asing bagi mereka. "Saking asingnya dengan shalat, pernah dua orang Muslim yang sedang shalat di samping minimarket di Texas ditangkap polisi karena pemilik toko menganggap itu bagian dari ritual terorisme," begitu tuturnya.

Maka bersyukurlah kita yang ada di Indonesia. Bisa beribadah dengan mudah, menemukan masjid dan mushala dimana-mana. Adzan terdengar keras menggema di sepanjang Kepulauan Indonesia. maka jangan sia-siakan kesempatan berharga ini. Dan bagi saudara-saudaraku di seantero jagad, dimanapun berada, negara sekuler, komunis, atheis, atau negara Islam, jagalah diri kalian, manfaatkan waktu sebaik mungkin untuk ibadah.

Betatapun kita tidak bisa memungkiri bahwa banyak saudara-saudara kita yang sekarang tinggal disana. Dan tak kita pungkiri bahwa geliat Islam di Amerika makin membaik. Tidak ada salahnya pula jika kita tinggal sejenak di negeri orang sekedar menimba ilmu disana. Seperti kata teman saya waktu bercerita perihal sejara Taufik Ismail, sang maestro puisi, "Tahu nggak, Taufik Ismail itu dulunya sekolah di Rusia." Lanjutnya, "Tahu sendiri kan, Rusia itu negara komunis. Waktu itu Taufik Ismail pas dapet beasiswa di Rusia bertanya kepada ayahnya."

Sejurus kemudian dia mengubah intonasinya dan berusaha memerankan Taufik Ismail yang berkata kepada ayahnya, "Bagaimana, Pak? Boleh ndak saya sekolah di Rusia." Ayah Taufik Ismail pun menyahut, "Nak, bagaikan batu bata, semakin dibakar akan semakin keras." Ya, batu bata akan semakin membaik kualitasnya jika telah melewati proses panjang nan melelahkan. Go on, bro! Semangat selalu.

*Untuk saudara-saudaraku dimanapun berada, Allah.. hafidz!! (a quote from a Pakistan brother who are currently living in Swedia for study)

No comments:

Post a Comment