Ceritanya punya cerita, Sabtu lalu setelah meeting, saya disodorkan sebuah film berjudul "Perempuan Berkalung Sorban". Benakku langsung berkata, kalo judulnya seperti itu, berarti itu film Islami. Eh tahunya, film ini film bermasalah. Dulu pernah denger sih, dan pernah lihat novelnya juga, dan pas baca sinopsisnya langsung males bacanya. Dan pas lihat filmnya, bukan males lagi,,, apa ya,,, muak? didn't find an appropriete word to say. Trus langsung kuberhentiin aja nontonnya, ku-skip-skip dan cari inti yg ingin disampaikan film ini.
Jelas ada yang salah dari pesan yang ingin disampaikan film ini. Bahkan MUI sudah menyatakan bahwa film ini layak ditarik dari peredaran karena kontra-produktif. Satu saja komentar saya: "Nampaknya Indonesia mengalami krisis keteladanan akut." Kenapa? Karena ternyata masih banyak yang sulit membayangkan bagaimana bisa hidup dengan bahagia dibawah koridor syari'at.
Terlalu naif jika mengatakan syari'at Islam mengkungkung wanita, merendahkan wanita, membuat wanita tidak bahagia. NOL besar. Laki-laki dan perempuan mendapat kedudukan yang sama, sejajar, dihadapan Allah. Hanya taqwa lah yang membedakannya. Sedangkan secara kodrat? Tentu beda. Ini sudah maklum, dan mudah dipahami.
Tentang bagaimana hubungan suami-istri, berikut saya kutip satu contoh, bagaimana indahnya keluarga dibawah koridor Islam. Berikut adalah surat terbuka seorang suami kepada istrinya yang shalihah, cukup panjang, tapi saya harap kita bersabar untuk membacanya karena sangat menarik:
Cerita selengkapnya silakan baca disini. Indah bukan? Ceritanya tidak berhenti disitu karena ternyata gayung pun bersambut, dibalas dengan surat dari sang istri kepada suami tercinta. Indah bukan?Buat istriku yang kucinta, semoga engkau berbahagia.
Aku tidak tahu dari mana harus memulai menuliskan beberapa rumpun kalimat buatmu, wahai istriku. Aku juga tidak tahu apakah kepolosanku dan ketulusanku ini akan mendapat sambutanmu. Tapi aku tiada pedulikan itu. Yang pasti, aku hanya ingin engkau tahu bahwa aku adalah suamimu.
Aku tahu bahwa sebagai suami ternyata aku sangat membutuhkanmu, aku katakan ini sejujurnya. Lalu apakah engkau juga sangat membutuhkan aku, suamimu, wahai istriku? Maafkan aku atas pertanyaan ini. Bukan aku meragukan cintamu padaku, aku hanya ingin meyakinkan diriku. Sebab, kebanyakan istri kerabat maupun sahabat-sahabatku pun sangat besar rasa butuhnya terhadap suami mereka. Oleh sebab itulah aku mencarimu untuk kujadikan istri, sebab engkau adalah seorang wanita yang sholihah, lembut, sopan santun, mulia, bertakwa, suci, menjaga diri dan penuh kasih sayang.
Istriku, aku tidak segan-segan berterus terang kepadamu, meski hanya dalam bentuk goresan tinta kita ini di atas lembaran kertas yang juga milik kita, bahwa aku sangat membutuhkanmu. Dan aku tidak menginginkan dari itu semua selain agar tumbuh rasa dalam dada kita berdua akan pentingnya saling menjaga hubungan baik di antara kita. Dan bahwa hubungan yang baik itu jauh lebih mulia daripada kita berlomba-lomba dengan maksud agar diketahui siapa di antara kita berdua yang lebih unggul. Aku berharap engkau pun telah memahaminya.
Pertanyannya: adakah keluarga yang benar-benar indah seindah cerita dua orang suami-istri yang saling berkirim surat seperti itu? Jawabnya: ADA. Tentu ada. Dan banyak sekali.
Satu buku yang recommended untuk dibaca: "Sandiwara Langit". Buku ini menceritakan kisah nyata dua orang sejoli yang berjuang untuk tetap tegar dalam rumah tangga Islami. Sangat mengarukan. Sangat indah. Silakan lihat reviewnya disini.
Back to topic; saya mencoba untuk tidak terburu-buru dalam menilai film "Perempuan Berkalung Sorban". Mungkin Hanung berusaha mengangkat realita sebuah sudut kecil dalam kisah masyarakat kita. Tapi, Ah nggak segitunya dech. Ceritanya terlalu berlebihan, bahkan jadi kontra-produktif.
Saya hanya ingin mengajak, mari kita renungi kembali. Mungkin sebagian kita susah membayangkan apakah kehidupan ideal Rasulullah dan para shahabat bisa terwujud di zaman ini. Tapi coba renungkan sekali lagi. Lihatlah sekeliling kita. Lihatlah, disana ada sosok keluarga bahagia, seperti kisah dalam buku Sandiwara Langit itu. Kalau mereka bisa, kenapa kita tidak bisa?
Agaknya kita sudah terlalu silau dengan hingar-bingar kehidupan metropolitan yang tiap hari, tiap jam, tiap detik, disuguhkan oleh televisi, sehingga kita tak lagi mudah memberadai keteladanan keluarga Islami. Krisis keteladan. Ya, mungkin itu kalimat yang lebih tepat untuk menggambarkan kondisi kita saat ini. Dan tugas kita semua untuk bersama-sama beranjak untuk menghilangkannya. Wallahu a'lam.
Bandung 20, Alamanda, the day after work.
4 comments:
ehem, jadi kapan akan merealisasikan skenario di surat tersebut ? :D
humm.. (think)
^_^ v
barakallaah,
*kok undangannya belum sampai - sampai ya. Y^_^
Yup, insya Allah... kapan ya.. insya Allah ^^
Post a Comment