Monday, October 12, 2009

Bahasa Ibu; Bahasa Kalbu

Tak ada satu patah kata pun terucap dari bibirnya, pun tak terdengar suaranya. Ia hanya memainkan sedikit matanya untuk membuat kami mundur teratur beberapa langkah dan urung masuk kedalam rumah. Rupanya, ibu tengah menerima beberapa orang tamu dan tampak sedang serius. Saya sempat berpikir, bahwa tamu-tamu itu hanya orang biasa, bukan orang penting yang tidak bisa diganggu sekian detik oleh kehadiran anak-anak kecil yang baru pulang dari sekolah. Saya juga tidak berniat mengganggu mereka, hanya sekedar mencium punggung tangan ibu beberapa detik, kemudian meluncur ke kamar.

Tapi maksud ibu berbeda, siapapun tamunya, penting atau tidak penting kedatangannya dan darimana pun datangnya tetap harus dihormati. Saya, abang, adik-adik jadi menunggu cukup lama di depan rumah. Tak berani masuk, apalagi memanggil-manggil ibu. Empat puluh menit sudah, si bungsu bahkan sudah terlelap di pojok teras rumah, keringatnya membasuhi baju seragamnya yang kotor. Akhirnya para tamu pun pamit pulang, "Eeh, baru pulang sekolah ya?" tanya mereka. Belum sempat kami menjawab, "Iya, baru pulang tuh," sergah ibu. Sekali lagi, menjaga hati para tamu agar tak merasa tak enak hati.

Tak selalu begitu memang. Tapi dalam beberapa kesempatan, ibu sering mengajarkan kepada kami tentang sopan santun dan tata krama. Maklum, sebelum-sebelumnya kami sering membuat ibu malu di hadapan tamunya dengan segala polah tak terkontrol. Yang minta minumlah, minta dibukakan sepatu, atau ini yang bikin ibu tambah malu, "Bu, belum masak ya? Lapar nih ...."

Hari ibu tiba. Ini hari yang paling ditunggu oleh kami, karena hari ini adalah jadwal acara memasak bersama, tanpa ibu. Kami akan membiarkan ibu duduk mendampingi kami yang berjibaku dengan kompor dan peralatan masak. Sesekali saya menangkap wajah khawatir ibu saat saya menyalakan kompor minyak. Meski sudah sering dan dibilang mahir saya melakukan pekerjaan itu, tetap saja mata ibu tak lepas dari tangan kecil ini yang menyulutkan api ke sumbu kompor. Begitu api menyala, cerialah wajahnya.

Begitu pula ketika si bungsu memotong-motong wortel dan kentang dengan pisau yang ukurannya lebih besar dari tangannya. Maklum, si kecil itu teramat sering terlukan jarinya oleh benda tajam itu. Setiap irisan wortel, setiap kali itu pula napas ibu tertahan. Urusan barang pecah-belah, ini urusan "orang gede." Mulai dari mengambil dari rak piring, menatanya di meja makan, sampai mencucinya setelah pesta usai. Untuk satu hal ini, ibu harus merelakan beberapa benda kesayangannya benar-benar menjadi benda pecah belah, alias benar-benar pecah.

Hidangan pun tersaji, waktunya makan. Karena Hari Ibu, ibulah yang mendapat kehormatan sebagai orang pertama yang mencicipi masakan kami. Srrup ... sesendok sup olahan kami pun diseruput ibu, dan ... matanya menyeripit, bibirnya seperti menahan sesuatu, perlahan tenggorokannya terlihat seolah tak rela membiarkan kuah yang ada di lidahnya masuk ke perut. Seketika, lima wajah kami pun setengah mengerut, "kenapa?".

"Sup ini .. sup paling nikmat yang pernah ibu rasakan," wajahnya kembali tenag dan ia pun mempersilakan kami menikmati makan bersama kali ini. Namun sebelumya, ibu megajukan saran, "Sup ini sudah nikmat, tapi menurut ibu, kalau mau lebih nikmat airnya ditambah ya." Tangan terampil ibu pun mengolah kembali sup tersebut dengan menambah bumbu lainnya. Sepuluh menit berikutnya, barulah pesta sebenarnya dimulai. Sungguh, kami tak tahu apa yang terasa di lidah ibu dengan sup hasil olahan kami.

Suatu pagi ibu mengaku kehilangan sejumlah uang belanjanya. Dikumpulkanlah lima anaknya untuk ditanya satu per satu. Meski ada orang lain selain kami, ibu tetap mengangap perlu mengumpulkan anak-anaknya terlebih dahulu. "Ibu menuduh kami?" tanya saya tergagap. "Bukan. Ibu hanya memberi tahu bahwa kita tidak masak hari ini, karena uang belanja ibu tidak ada," ujar ibu lembut.

Kami pun berangkat sekolah dengan perasaan berat dan saling curiga, siapa yang tega mengambil uang ibu. Tidak sampai disitu, kami pun terbayang siang ini akan dilewati dengan perut lapar. Pulang sekolah, jangan harap ada makanan tersaji di meja makan. Saya sempat berfikir, akan saya pukul orang yang mengambil uang itu. Karena dia menyebabkan semuanya kelaparan.

Kembali dari sekolah, aroma semur tahu kesukaan saya sudah tercium dari pagar depan rumah. Saya berlari ke dapur dan mendapati ibu sedang memasak. "Kok ibu memasak? Uangnya sudah ketemu? Siapa yang mengambilnya?" pertanyaan beruntun saya dijawab ibu dengan senyum. "Siapa pun dia, yang jelas dia sudah mengerti kepentingan keluarga lebih utama dari kepentingan sendiri," jelas ibu. Saya tahu, ibu tak akan memberi tahu siapa yang dimaksud , karena ibu tak ingin kamio membencinya. Apalagi memukulya, seperti niat saya sebelumnya.

Ibu, rindu rasanya saya pada masa-masa indah seperti dulu. Semoga masih selalu ada waktu untuk kita mencipta terminal kenangan yang tak kalah indahnya dengan masa lalu. Sungguh, kadang ibu memang cerewet, tapi saya tahu semua itu bahasa kalbu ibu yang selalu menyejukkan hati. ("Belajar dari Kehidupan," Bayu Gawtama.)

Sebait do'a takkan pernah terputus untukmu .. Ibu
Dan 'ku kan berusaha menjadi lebih baik,
menjadi apa yang ibu cita-citakan.
(Bandung, Oct 2009)



No comments:

Post a Comment