ini...... akan terasa cepat sekaligus lambat.
Terasa cepat ketika sedang diburu-buru waktu, deadline, pekerjaan, dan masalah. Membuat kita berkata, "Aduh bentar lagi deadline!".
Terasa lambat ketika dihadapkan pada penantian, apalagi penantian panjang mendebarkan. Membuat kita berkata, "Kapan ya, hari itu tiba?".
Ah, hidup memang penuh warna. Adakalanya hitam atau putih, merah atau kuning, hijau atau lembayung, semua memberikan kontribusinya masing-masing. Pangkal dari semua itu adalah syukur dan sabar, rasa yang akan membuat komposisi hidup kita tetap menarik, cerah, dan tidak membosankan, insya Allah :)
Sunday, October 26, 2008
"Amor vincit omnia", cinta mengalahkan segalanya.
Sebagian orang menganggap kisah cinta Romeo dan Juliet sebagai romantisme cinta sejati. Mari kita perhatikan kisahnya.
Romeo adalah putera tuan besar Montague yang bermusuhan dengan tuan besar Capulet, ayah Juliet. Keluarga Montague dan Capulet bermusuhan. Ketika Romeo berkata "What's in a name?", bagi Juliet nama Montague di belakang Romeo sangat merisaukan. Nama yang menyiratkan musuh nyata bagi keluarganya.
Ketika Romeo mendatangi Juliet berhadapan dengan tuan besar Capulet, maka dia ditolak. Cinta bagi Romeo adalah duka yang mengiris pedih ketika menghadapi kenyataan bahwa mereka harus berpisah. Rindu mereka menguras air mata dan melelahkan pikiran. Hingga tibalah saat klimaks, Romeo menengguk racun di hadapan jasad Juliet yang pura-pura mati. Begitu siuman, Juliet segera mencium mesra bibir Romeo yang belepotan racun. "Kepak sayap mereka yang lembut", tutur Shakespare menutup kisah, "Adalah kepak sayap cinta".
Shakespare dengan gaya tutur sastranya telah membungkus kisah cinta yang salah dengan kelabut cinta sejati. Cinta, ala Romeo dan Juliet, adalah sesuatu yang akhirnya membuat mereka bunuh diri, sebagaimana cinta ala Qais yang menjadikannya gila karena Layla Majnun, dan sederetan kisah-kisah cinta salah lainnya.
Mari kita simak penuturan Lauren Slater pada majalah National Geographic Februari 2006 yang mengangkat tema "Love, the Chemical Reaction". Kata Lauren, "Love and obsessive compulsif disorder could have a simillar chemical reaction". Maknanya kurang lebih, mungkin akan sulit membedakan antara cinta dan penyakit mental. Sebagaimana kejadian yang dialami oleh Romeo dan Juliet, sulit untuk tidak mengatakan bahwa terdapat semacam gangguan mental, istilah Lauren, obsessive compulsif disorder.
"Gangguan jiwa", kata Fauzil Adhim dalam bukunya Disebabkan oleh Cinta, "tidak datang secara tiba-tiba. Ia merupakan hasil dari proses hidup yang panjang". Tidak ada sebenarnya orang gila karena putus cinta. Yang ada adalah orang dengan jiwa yang rapuh, lalu ketika sebuah peristiwa menghentak keras, jiwanya hancur berkeping-keping.
Penjelasan apik disampaikan Anis Matta dalam serial cintanya, "Kita lemah karena posisi jiwa kita salah. Seperti ini, kita mencintai seseorang lalu menggantungkan kebahagiaan kita pada sebuah kehidupan bersamanya. Maka ketika ia menolak, -atau tak beroleh kesempatan-, untuk hidup bersama kita, itu menjadi sumber kesengsaraan". Kita menderita bukan karena cinta, tapi karena menerjemahkan cinta itu sebagai kebersamaan. Baginya, kehidupan bersama yang penuh romansa adalah harga mati. Maka baginya, kalau tidak bisa hidup bersama, mati bersama pun cukuplah.
Ya, ada yang salah dalam mengartikan cinta. Kalau saja 'mencintai' itu sudah cukup membuat bahagia, tentu mereka tidak akan risau jikapun 'tak dicintai'. Mereka tidak akan risau, jikapun tidak bersama. "Amor vincit omnia", cinta mengalahkan segalanya. Cinta diterjemahkan secara salah menjadi bumerang bagi jiwa yang 'mencintai'.
Teman saya memberikan definisi favoritnya tentang cinta: "Cinta adalah kata yang mewakili seperangkat kepribadian yang utuh: gagasan, emosi, dan tindakan. Gagasannya adalah tentang bagaimana membuat orang yang kita cintai tumbuh dan berkembang menjadi lebih baik, dan berbahagia karenanya. Ia juga emosi yang penuh kehangatan dan gelora karena seluruh isinya adalah semata-mata keinginan baik. Tapi ia harus mengejawantah dalam tindakan nyata. Sebab gagasan dan emosi tidak merubah apa pun dalam kehidupan kita kecuali setelah ia menjelma jadi aksi".
Kekuatan Cinta
Kita tentu pernah mendengar teori segitiga cinta yang dikenalkan Sternberg. Cinta mengandung tiga komponen: keintiman (intimacy), gairah (passion), dan komitmen (commitment).
Keintiman (intimacy) adalah elemen emosi yang didalamnya terdapat kehangatan, keakraban, dan hasrat menjalin hubungan. Gejala yang tampak dari keintiman bisa berujud perasaan bahagia ketika dekat dengan seseorang, menikmati cakap-cakap dengannya sampai waktu yang lama, merasa rindu bila lama tidak bertemu, dan keinginan untuk bergandengan tangan (*ehm) atau saling merangkul bahu. Gairah (passion) adalah elemen motivasional yang didasari oleh dorongan dari dalam diri yang bersifat seksual. Sementara komitmen (commitment) adalah elemen kognitif, berupa keputusan dan tekad untuk tetap dan sinambung menjalankan kehidupan bersama.
Keintiman dan gairah tanpa komitmen adalah romantic love, gairah dan komitmen tanpa keintiman akan memunculkan fatous love, sedangkan komitmen dan keintiman tanpa gairah menghasilkan compansionate love. Jika keintiman, gairah, dan komitmen bersatu maka inilah cinta ideal yang diistilahkan consummate love.
Sternberg yang berlatar belakang Barat kemudian mendefinisikan tahapan cinta bermula dari keintiman, gairah, lalu berbuah komitmen yang ditandai dengan pernikahan. Terlepas dari perdebatan shahih tidaknya teori Sternberg, ada rasa penasaran yang ingin saya ketahui dari pasangan tua yang berhasil merawat cinta dalam waktu lama.
Sebut saja Nursiwan (76) dan Mainar (72), dalam "Setengah Abad Merawat Cinta" edisi khusus Tarbawi, "Ia meyebutkan bahwa yang penting dalam rumah tangga itu saling menghargai. Se-iya se-kata. Saling mengerti satu sama lain", lebihnya, "Kita saling mengerti, itu obat dalam rumah tangga, yang lain tidak ada. Kalau ada masalah jangan dipendam, dipendam berdua tidak apa-apa, tapi jangan sampai orang lain tahu.", lanjut Tarbawi, "Komitmen juga selalu dipegang istrinya, Mainar. Dia juga tidak pernah melaporkan urusan rumah tangganya kepada orang tuanya."
Ya, komitmen sebenarnya inti kekuatan cinta. Saya mencoba sedikit memperluas makna komitmen dari tidak sekedar keputusan untuk 'hidup bersama' seperti kata Sternberg, tapi komitmen juga berarti memberi bukan meminta, memahami bukan menuntut, rela berkorban bukan bukan hitung-hitungan, aktif bukan pasif. Komitmen adalah kesetiaan. Ya, itulah letak kekuatan cinta.
Dari komitmen kita berangkat mengarungi dunia cinta. Dengan komitmen, tidak akan muncul rasa putus asa, kegilaan, ataupun kesengsaraan sebagaimana cinta ala Romeo dan Juliet. Tentu komitmen tertinggi adalah komitmen terhadap nilai-nilai Ilahi yang ada dalam risalah yang dibawa Kanjeng Nabi. "Karena", kata teman, "cinta datang karena datangnya sebab, hilang karena ilangnya sebab". Maka cinta lah karena Allah, sumber yang tak akan pernah sirna. Semburatkan senyum kepada setiap orang yang kita cintai, lalu berbagi lah kebahagiaan dengannya. Satu kalimat untuk setiap pasangan Muslim, semoga barokah menaungimu. Jangan salah artikan cinta. Akhukum fillah, maaf kalau tidak komprehensif.
Satu kata cinta Bilal: "Ahad!"
Dua kata cinta Sang Nabi: "Selimuti aku..!"
Tiga kata cinta Ummu Sulaim: "Islammu, itulah maharku!"
Empat kata cinta Abu Bakar: "Ya Rasulullah, saya percaya..!"
Lima kata cinta Umar: "Ya Rasulullah, ijinkan kupenggal lehernya!"
(Terima kasih Mas Salim, bukunya, inspiring, maaf saya kutip-kutip seenaknya! Baru tahu, akhirnya nasyid IQOSS diterbitkan juga, hehe :))
Iseng-iseng surfing nemu resep kue cinta.
Cinta yang Salah
"Amor vincit omnia", cinta mengalahkan segalanya.
Sebagian orang menganggap kisah cinta Romeo dan Juliet sebagai romantisme cinta sejati. Mari kita perhatikan kisahnya.
Romeo adalah putera tuan besar Montague yang bermusuhan dengan tuan besar Capulet, ayah Juliet. Keluarga Montague dan Capulet bermusuhan. Ketika Romeo berkata "What's in a name?", bagi Juliet nama Montague di belakang Romeo sangat merisaukan. Nama yang menyiratkan musuh nyata bagi keluarganya.
Ketika Romeo mendatangi Juliet berhadapan dengan tuan besar Capulet, maka dia ditolak. Cinta bagi Romeo adalah duka yang mengiris pedih ketika menghadapi kenyataan bahwa mereka harus berpisah. Rindu mereka menguras air mata dan melelahkan pikiran. Hingga tibalah saat klimaks, Romeo menengguk racun di hadapan jasad Juliet yang pura-pura mati. Begitu siuman, Juliet segera mencium mesra bibir Romeo yang belepotan racun. "Kepak sayap mereka yang lembut", tutur Shakespare menutup kisah, "Adalah kepak sayap cinta".
Shakespare dengan gaya tutur sastranya telah membungkus kisah cinta yang salah dengan kelabut cinta sejati. Cinta, ala Romeo dan Juliet, adalah sesuatu yang akhirnya membuat mereka bunuh diri, sebagaimana cinta ala Qais yang menjadikannya gila karena Layla Majnun, dan sederetan kisah-kisah cinta salah lainnya.
Mari kita simak penuturan Lauren Slater pada majalah National Geographic Februari 2006 yang mengangkat tema "Love, the Chemical Reaction". Kata Lauren, "Love and obsessive compulsif disorder could have a simillar chemical reaction". Maknanya kurang lebih, mungkin akan sulit membedakan antara cinta dan penyakit mental. Sebagaimana kejadian yang dialami oleh Romeo dan Juliet, sulit untuk tidak mengatakan bahwa terdapat semacam gangguan mental, istilah Lauren, obsessive compulsif disorder.
"Gangguan jiwa", kata Fauzil Adhim dalam bukunya Disebabkan oleh Cinta, "tidak datang secara tiba-tiba. Ia merupakan hasil dari proses hidup yang panjang". Tidak ada sebenarnya orang gila karena putus cinta. Yang ada adalah orang dengan jiwa yang rapuh, lalu ketika sebuah peristiwa menghentak keras, jiwanya hancur berkeping-keping.
Penjelasan apik disampaikan Anis Matta dalam serial cintanya, "Kita lemah karena posisi jiwa kita salah. Seperti ini, kita mencintai seseorang lalu menggantungkan kebahagiaan kita pada sebuah kehidupan bersamanya. Maka ketika ia menolak, -atau tak beroleh kesempatan-, untuk hidup bersama kita, itu menjadi sumber kesengsaraan". Kita menderita bukan karena cinta, tapi karena menerjemahkan cinta itu sebagai kebersamaan. Baginya, kehidupan bersama yang penuh romansa adalah harga mati. Maka baginya, kalau tidak bisa hidup bersama, mati bersama pun cukuplah.
Ya, ada yang salah dalam mengartikan cinta. Kalau saja 'mencintai' itu sudah cukup membuat bahagia, tentu mereka tidak akan risau jikapun 'tak dicintai'. Mereka tidak akan risau, jikapun tidak bersama. "Amor vincit omnia", cinta mengalahkan segalanya. Cinta diterjemahkan secara salah menjadi bumerang bagi jiwa yang 'mencintai'.
Teman saya memberikan definisi favoritnya tentang cinta: "Cinta adalah kata yang mewakili seperangkat kepribadian yang utuh: gagasan, emosi, dan tindakan. Gagasannya adalah tentang bagaimana membuat orang yang kita cintai tumbuh dan berkembang menjadi lebih baik, dan berbahagia karenanya. Ia juga emosi yang penuh kehangatan dan gelora karena seluruh isinya adalah semata-mata keinginan baik. Tapi ia harus mengejawantah dalam tindakan nyata. Sebab gagasan dan emosi tidak merubah apa pun dalam kehidupan kita kecuali setelah ia menjelma jadi aksi".
Kekuatan Cinta
Kita tentu pernah mendengar teori segitiga cinta yang dikenalkan Sternberg. Cinta mengandung tiga komponen: keintiman (intimacy), gairah (passion), dan komitmen (commitment).
Keintiman (intimacy) adalah elemen emosi yang didalamnya terdapat kehangatan, keakraban, dan hasrat menjalin hubungan. Gejala yang tampak dari keintiman bisa berujud perasaan bahagia ketika dekat dengan seseorang, menikmati cakap-cakap dengannya sampai waktu yang lama, merasa rindu bila lama tidak bertemu, dan keinginan untuk bergandengan tangan (*ehm) atau saling merangkul bahu. Gairah (passion) adalah elemen motivasional yang didasari oleh dorongan dari dalam diri yang bersifat seksual. Sementara komitmen (commitment) adalah elemen kognitif, berupa keputusan dan tekad untuk tetap dan sinambung menjalankan kehidupan bersama.
Keintiman dan gairah tanpa komitmen adalah romantic love, gairah dan komitmen tanpa keintiman akan memunculkan fatous love, sedangkan komitmen dan keintiman tanpa gairah menghasilkan compansionate love. Jika keintiman, gairah, dan komitmen bersatu maka inilah cinta ideal yang diistilahkan consummate love.
Sternberg yang berlatar belakang Barat kemudian mendefinisikan tahapan cinta bermula dari keintiman, gairah, lalu berbuah komitmen yang ditandai dengan pernikahan. Terlepas dari perdebatan shahih tidaknya teori Sternberg, ada rasa penasaran yang ingin saya ketahui dari pasangan tua yang berhasil merawat cinta dalam waktu lama.
Sebut saja Nursiwan (76) dan Mainar (72), dalam "Setengah Abad Merawat Cinta" edisi khusus Tarbawi, "Ia meyebutkan bahwa yang penting dalam rumah tangga itu saling menghargai. Se-iya se-kata. Saling mengerti satu sama lain", lebihnya, "Kita saling mengerti, itu obat dalam rumah tangga, yang lain tidak ada. Kalau ada masalah jangan dipendam, dipendam berdua tidak apa-apa, tapi jangan sampai orang lain tahu.", lanjut Tarbawi, "Komitmen juga selalu dipegang istrinya, Mainar. Dia juga tidak pernah melaporkan urusan rumah tangganya kepada orang tuanya."
Ya, komitmen sebenarnya inti kekuatan cinta. Saya mencoba sedikit memperluas makna komitmen dari tidak sekedar keputusan untuk 'hidup bersama' seperti kata Sternberg, tapi komitmen juga berarti memberi bukan meminta, memahami bukan menuntut, rela berkorban bukan bukan hitung-hitungan, aktif bukan pasif. Komitmen adalah kesetiaan. Ya, itulah letak kekuatan cinta.
Dari komitmen kita berangkat mengarungi dunia cinta. Dengan komitmen, tidak akan muncul rasa putus asa, kegilaan, ataupun kesengsaraan sebagaimana cinta ala Romeo dan Juliet. Tentu komitmen tertinggi adalah komitmen terhadap nilai-nilai Ilahi yang ada dalam risalah yang dibawa Kanjeng Nabi. "Karena", kata teman, "cinta datang karena datangnya sebab, hilang karena ilangnya sebab". Maka cinta lah karena Allah, sumber yang tak akan pernah sirna. Semburatkan senyum kepada setiap orang yang kita cintai, lalu berbagi lah kebahagiaan dengannya. Satu kalimat untuk setiap pasangan Muslim, semoga barokah menaungimu. Jangan salah artikan cinta. Akhukum fillah, maaf kalau tidak komprehensif.
Satu kata cinta Bilal: "Ahad!"
Dua kata cinta Sang Nabi: "Selimuti aku..!"
Tiga kata cinta Ummu Sulaim: "Islammu, itulah maharku!"
Empat kata cinta Abu Bakar: "Ya Rasulullah, saya percaya..!"
Lima kata cinta Umar: "Ya Rasulullah, ijinkan kupenggal lehernya!"
(Terima kasih Mas Salim, bukunya, inspiring, maaf saya kutip-kutip seenaknya! Baru tahu, akhirnya nasyid IQOSS diterbitkan juga, hehe :))
Iseng-iseng surfing nemu resep kue cinta.
Menulis Lagi
Menulis bagi saya adalah salah satu cara untuk refreshing sekaligus latihan otak. Seperti makanan dan olah raga bagi tubuh, menulis bisa membuat otak menjadi semakin sehat.
Mengapa? Pertama, menulis menuntut orang untuk mengungkapkan apa yang ada di dalam benaknya, dan ini tidak bisa dilakukan dengan mudah kecuali orang tersebut memahami betul ihwal apa yang sedang dipikirkannya. Orang akan terstimulus untuk mencoba mengendapkan pikiran, merenungi, dan menata kembali ruang-ruang ide yang berserakan menjadi sebuah gagasan yang mantap. Dengan begini otak kita akan terlatih untuk terbiasa berfikir, merenungi, lalu menyusun semuanya menjadi sebuah gagasan yang jelas dan tersusun rapi.
Kedua, menulis akan melatih kemampuan bahasa kita. Ketika sebuah gagasan sudah tersusun rapi di benak kita, maka saatnya memilih kata yang tepat untuk mengejawantahkannya dalam tulisan. Ini memerlukan ketrampilan dan jam terbang yang tinggi. Jujur saja, nilai psikologi saya untuk pemilihan kata, kosakata, dan semacamya tergolong paling rendah. Dan jujur saja, setelah sekian lama mencoba, tetap pemilihan kata ini yang paling menghalangi saya untuk menulis.
Mungkin seperti melukis, ada orang yang berbakat, ada orang yang tidak berbakat. Terlepas dari perdebatan akan adanya bakat atau tidak, yang jelas semuanya bisa dilatih, dan endurance seseorang untuk terus mencoba (jam terbang) yang akan menjawabnya. Satu tips untuk Anda dan kita semua. Biarkan tulisan mengalir apa adanya, jaga agar airnya tetap mengalir dan tidak berlama-lama tersendat, lalu jika aliran itu kurang indah kita benahi diakhir nanti. Yah, itulah mengapa setiap penulis, profesional sekalipun, tetap membutuhkan seoarang editor. Hehe.
Eits, kok malah ngelantur kemana-mana. OK saya simpulkan, bahwa menulis juga menjadi latihan kemampuan bahasa atau kosakata, dan konon "latihan" ini sangat terasa pengaruhnya bagi otak kita, seperti fitnes bagi kebugaran tubuh.
Ketiga, menulis adalah refleksi dari pembelajaran kita. Seseorang akan menulis apa yang dia ketahui, lebih spesifik lagi apa yang dia baca. Ya, menulis dan membaca seperti "tumbu ketemu tutup" (tong dengan tutupnya), sangat erat hubungannya. Ini saya alami sendiri. Ketika kita terlalu disibukkan dengan rutinitas sehari-hari kemudia jarang membaca, untuk memulai menulis jadi terasa sulit. Oleh karena itu, dengan keinginan untuk menulis akan mendorong kita untuk mempunyai keinginan banyak-banyak membaca juga.
Tentu dibalik kesemua manfaat positif menulis, ada sekian banyak manfaat-manfaat lainnya. Salah satu contoh, menulis sebagai agen perubahan, perubahan kepada pemikiran yang lebih baik. Yah, tapi bolehlah dalam tulisan ini saya membatasi aspek tulis-menulis sebagai sarana refreshing dan latihan otak saja.
Media Menulis.
Blog sebagai salah satu media tulis, sampai saat ini menurut saya masih menjadi media yang paling efektif bagi pemula. Saya sendiri tidak dekat dengan dunia para penulis, apakah mereka juga memanfaatkan media semaca blog juga? Saya pikir iya.
Nah, satu kalimat penutup. Pengalaman saya, sebagai penulis amatiran, jangan lama-lama menyelesaikan tulisan. Tulis-menulis bagi saya identik dengan mood juga. Kecuali orang yang pandai memanage otak dan pikirannya sehingga bisa menjaga mood, maka segeralah selesaikan tulisan, karena kita tidak tahu kapan "bad-mood" itu akan muncul. Sekian dari saya, enjoy.
Mengapa? Pertama, menulis menuntut orang untuk mengungkapkan apa yang ada di dalam benaknya, dan ini tidak bisa dilakukan dengan mudah kecuali orang tersebut memahami betul ihwal apa yang sedang dipikirkannya. Orang akan terstimulus untuk mencoba mengendapkan pikiran, merenungi, dan menata kembali ruang-ruang ide yang berserakan menjadi sebuah gagasan yang mantap. Dengan begini otak kita akan terlatih untuk terbiasa berfikir, merenungi, lalu menyusun semuanya menjadi sebuah gagasan yang jelas dan tersusun rapi.
Kedua, menulis akan melatih kemampuan bahasa kita. Ketika sebuah gagasan sudah tersusun rapi di benak kita, maka saatnya memilih kata yang tepat untuk mengejawantahkannya dalam tulisan. Ini memerlukan ketrampilan dan jam terbang yang tinggi. Jujur saja, nilai psikologi saya untuk pemilihan kata, kosakata, dan semacamya tergolong paling rendah. Dan jujur saja, setelah sekian lama mencoba, tetap pemilihan kata ini yang paling menghalangi saya untuk menulis.
Mungkin seperti melukis, ada orang yang berbakat, ada orang yang tidak berbakat. Terlepas dari perdebatan akan adanya bakat atau tidak, yang jelas semuanya bisa dilatih, dan endurance seseorang untuk terus mencoba (jam terbang) yang akan menjawabnya. Satu tips untuk Anda dan kita semua. Biarkan tulisan mengalir apa adanya, jaga agar airnya tetap mengalir dan tidak berlama-lama tersendat, lalu jika aliran itu kurang indah kita benahi diakhir nanti. Yah, itulah mengapa setiap penulis, profesional sekalipun, tetap membutuhkan seoarang editor. Hehe.
Eits, kok malah ngelantur kemana-mana. OK saya simpulkan, bahwa menulis juga menjadi latihan kemampuan bahasa atau kosakata, dan konon "latihan" ini sangat terasa pengaruhnya bagi otak kita, seperti fitnes bagi kebugaran tubuh.
Ketiga, menulis adalah refleksi dari pembelajaran kita. Seseorang akan menulis apa yang dia ketahui, lebih spesifik lagi apa yang dia baca. Ya, menulis dan membaca seperti "tumbu ketemu tutup" (tong dengan tutupnya), sangat erat hubungannya. Ini saya alami sendiri. Ketika kita terlalu disibukkan dengan rutinitas sehari-hari kemudia jarang membaca, untuk memulai menulis jadi terasa sulit. Oleh karena itu, dengan keinginan untuk menulis akan mendorong kita untuk mempunyai keinginan banyak-banyak membaca juga.
Tentu dibalik kesemua manfaat positif menulis, ada sekian banyak manfaat-manfaat lainnya. Salah satu contoh, menulis sebagai agen perubahan, perubahan kepada pemikiran yang lebih baik. Yah, tapi bolehlah dalam tulisan ini saya membatasi aspek tulis-menulis sebagai sarana refreshing dan latihan otak saja.
Media Menulis.
Blog sebagai salah satu media tulis, sampai saat ini menurut saya masih menjadi media yang paling efektif bagi pemula. Saya sendiri tidak dekat dengan dunia para penulis, apakah mereka juga memanfaatkan media semaca blog juga? Saya pikir iya.
Nah, satu kalimat penutup. Pengalaman saya, sebagai penulis amatiran, jangan lama-lama menyelesaikan tulisan. Tulis-menulis bagi saya identik dengan mood juga. Kecuali orang yang pandai memanage otak dan pikirannya sehingga bisa menjaga mood, maka segeralah selesaikan tulisan, karena kita tidak tahu kapan "bad-mood" itu akan muncul. Sekian dari saya, enjoy.
Subscribe to:
Posts (Atom)