Pernah baca novel Digital Fortress? Buku ini ditulis oleh satu pengarang sama yang pernah menulis novel (ilmiah) The Da Vinci Code. Saya sendiri belum baca juga (nantilah, hehe, yang nulis ga valid nih :p).
Nah, novel ini bercerita tentang teknik enkripsi, atau penyandian. Teknik enkripsi sering digunakan untuk melindungi pengiriman data, terutama data digital, agar tidak disadap orang. Seperti yang sedang ngetren sekarang: penyadapan telpon dan SMS oleh KPK, atau bahkan recovery data oleh Roy Suryo atas kasus kekerasan seorang artis. Contoh paling enak adalah penyadapan informasi militer antar pasukan saat perang Dunia ke-2.
Bagaimana cara enkripsi? Caranya adalah dengan mengubah data tersebut kedalam data yang unreadable, tidak bisa dibaca, kecuali oleh yang punya kunci untuk membuka enkripsinya (dekripsi). Enksripsi ini, jadi tidak ada gunanya jika tidak dilakukan pada last-miles, penerima data terakhir. Mengapa? Karena walaupun sudah dienkripsi didepan, dibelakan masih bisa disadap.
Contohnya, chip wireless menggunakan RSA chiper sebagai enkripsi data yang dia terima dari network untuk dikirim lewat udara. OK, diudara tidak bisa disadap. Tapi data kemudian dikirim lewat jaringan internet. Data unencrypted tentunya. Walhasil, orang dengan mudah menyadapnya. Hohoh.
Enkripsi yang paling bagus adalah di last-mile application-nya. Misalnya diletakkan di aplikasi thunderbird. Jadi data masih tidak bisa disadap sebelum sampai ke thuderbird.
Nah, tapi, masih ada satu celah lagi untuk bisa menyadap data tersebut. Data disadap di the very-last-miles nya, ehehehe. Apa itu? Bagaimana bisa terjadi?
Jawabnya adalah hacking people. Sehebat-hebatnya proteksi data di Pentagon, misalnya, kalo ada oknum yang membocorkannya, tetap saja bocor. Teknik sosial mengalahkan teknologi tinggi. Hacking people, membajak data melalui orang, pakai teknik-teknik (baca: ilmu sosial) tertentu. Ehehehe, tul kan? :p
Nah, novel ini bercerita tentang teknik enkripsi, atau penyandian. Teknik enkripsi sering digunakan untuk melindungi pengiriman data, terutama data digital, agar tidak disadap orang. Seperti yang sedang ngetren sekarang: penyadapan telpon dan SMS oleh KPK, atau bahkan recovery data oleh Roy Suryo atas kasus kekerasan seorang artis. Contoh paling enak adalah penyadapan informasi militer antar pasukan saat perang Dunia ke-2.
Bagaimana cara enkripsi? Caranya adalah dengan mengubah data tersebut kedalam data yang unreadable, tidak bisa dibaca, kecuali oleh yang punya kunci untuk membuka enkripsinya (dekripsi). Enksripsi ini, jadi tidak ada gunanya jika tidak dilakukan pada last-miles, penerima data terakhir. Mengapa? Karena walaupun sudah dienkripsi didepan, dibelakan masih bisa disadap.
Contohnya, chip wireless menggunakan RSA chiper sebagai enkripsi data yang dia terima dari network untuk dikirim lewat udara. OK, diudara tidak bisa disadap. Tapi data kemudian dikirim lewat jaringan internet. Data unencrypted tentunya. Walhasil, orang dengan mudah menyadapnya. Hohoh.
Enkripsi yang paling bagus adalah di last-mile application-nya. Misalnya diletakkan di aplikasi thunderbird. Jadi data masih tidak bisa disadap sebelum sampai ke thuderbird.
Nah, tapi, masih ada satu celah lagi untuk bisa menyadap data tersebut. Data disadap di the very-last-miles nya, ehehehe. Apa itu? Bagaimana bisa terjadi?
Jawabnya adalah hacking people. Sehebat-hebatnya proteksi data di Pentagon, misalnya, kalo ada oknum yang membocorkannya, tetap saja bocor. Teknik sosial mengalahkan teknologi tinggi. Hacking people, membajak data melalui orang, pakai teknik-teknik (baca: ilmu sosial) tertentu. Ehehehe, tul kan? :p
No comments:
Post a Comment