Hari ini aku pulang cepat. Selain ingin menyelesaikan membaca Maryamah Karpov yang rencananya mau dipinjem temen, juga karena badan mulai terasa capek, ngelu. Akhir-akhir ini, kerjaan sudah mulai peak. Biasanya pekerjaan mulai peak ketika mendekati deadline, dan kali ini bukan sekedar deadline, tapi very-hard deadline : chip submission*.
Pulang kerja naik motor, aku mampir ke Yomart, confinient store dekat rumah. Jarak kontrakanku dengan tempat kerja memeang tidak terlalu jauh, sekitar tiga kali panjang lapangan bola, tapi dengan kontur jalan yang agak-sedikit naik turun.
Di Yomart kubeli beberapa snack, keripik singkong, kacang Sukro, Lemon Water, yang ada tulisan katakana-nya –remon(g) wateru, dan beberapa bungkus Energen. Berharap bisa menikmatinya sambil membaca buku setibanya dirumah.
Ngomong-ngomong tentang Lemon Water, jadi mengingatkanku akan minuman dingin yang dijual di selling machine di pinggir-pinggir jalan di Fukuoka. Tinggal masukkan uang, pencet minuman yang diinginkan, keluar botol minuman yang masih dingin, atau panas kalau mau. Tinggal pilih. Kuingat rasanya mirip sekali dengan Lemon Water ini. Pikiranku melayang-layang, mengingat kembali masa-masa indah itu. Ah, itu sebabnya, aku suka beli Lemon Water. Bukan kenapa-napa, karena alasan emotional saja.
“Semuanya 15.125 rupiah, Pak.” kata mbak tellernya. Kuambil uang pecahan 50 ribuan. Teller mulai memencet-mencet tuts keyboard, lalu keluar selembar struk. Tertulis “kembali 34.875 rupiah”. Mbak teller mengambil kembalian dari laci disusun-susun berdasarkan jenis uang. Dari receh seratusan sampai pecahan dua puluh ribuan. Aku hanya dapat kembalian 34.800 rupiah, seperti biasa. Kebiasaan yang tidak biasa, setidaknya untuk dua negara yang pernah kukunjungi, Jepang dan Singapore.
Teringat kata-kata Pak Eko dulu waktu melihat aku mengomentari uang recehan Yen yang pecahan terkecilnya adalah 1 Yen, “Uang 1 Yen itu berharga bagi orang sini.”, katanya, “Kalau orang beli sesuatu lalu kembaliannya kurang 1 Yen saja, bisa marah-marah mereka.” 1 Yen waktu itu setara dengan 80 rupiah. Begitu pula Singapore, tidak pernah kulihat uang kembalian yang diberikan lebih sedikit dari yang tertera pada struk.
Mafia, kupikir. Kalau setiap hari, pada seratus yang orang membeli di confinient store –yang tergolong kecil itu-- uang kembalian 75 rupiah tidak pernah dikembalikan, maka ada 7500 rupiah kelebihan tiap harinya. Jumlah yang tidak cukup untuk menyebutnya sebagai ketidakadilan. Mafia.
Aku berfikir kenapa tidak dibuat bulat saja harganya, jadi 15.200 rupiah, toh kembaliannya tetap sama. Aku tidak mengerti kecuali dilihat dari teori pajak: “kalau dijual 15.200 ya pajak penjualannya akan lebih besar dari jika dijual 15.125 rupiah”. Eh, bukankah produsen menjual ke confinient store dalam jumlah yang besar. Yang lebih untung justru Yomart dan kawan-kawan.
Perutku mulai mual. Sudah saatnya meninggalkan Yomart beserta struk-struk-nya yang absurd. Aku terhuyung-huyung memasuki rumah yang kelihatan ramai, kalau tidak mau dibilang kacau. Amboi, bau apa ini? Anak-anak kontrakan sedang masak-masak, nih? Rupanya pempek Palembang yang tadi pagi dikirim teman mas Yarka. Kutinggalkan ribut-ribut itu, langsung masuk kamar.
Hari-hari kututup dengan Lemon Water, struk-struk yang absurd, dan bau pempek dari teman mas Yarka. Kususun meja bacaku yang kubeli dari pasar Punclut beberapa waktu lalu, dari seorang bapak paruh baya. Lumayan, kualitasnya tidak kalah dari meja khas Ikea. Tak lupa kuhidupkan lampu baca favoritku. Cover Maryamah Karpov yang mellow membuat hujan rintik-rintik di luar terasa semakin romantis, plus dua butir coklat Van Hauten-nya mas Dibya yang dibeli dari Singapore. Ah, kawan. Hangat.
*)memasukkan desain ke chip foundry untuk dicetak dalam wafer semikonduktor jadi chip.
*)gambar confinient store : kiri - Singapore, kanan - Fukuoka
Pulang kerja naik motor, aku mampir ke Yomart, confinient store dekat rumah. Jarak kontrakanku dengan tempat kerja memeang tidak terlalu jauh, sekitar tiga kali panjang lapangan bola, tapi dengan kontur jalan yang agak-sedikit naik turun.
Di Yomart kubeli beberapa snack, keripik singkong, kacang Sukro, Lemon Water, yang ada tulisan katakana-nya –remon(g) wateru, dan beberapa bungkus Energen. Berharap bisa menikmatinya sambil membaca buku setibanya dirumah.
Ngomong-ngomong tentang Lemon Water, jadi mengingatkanku akan minuman dingin yang dijual di selling machine di pinggir-pinggir jalan di Fukuoka. Tinggal masukkan uang, pencet minuman yang diinginkan, keluar botol minuman yang masih dingin, atau panas kalau mau. Tinggal pilih. Kuingat rasanya mirip sekali dengan Lemon Water ini. Pikiranku melayang-layang, mengingat kembali masa-masa indah itu. Ah, itu sebabnya, aku suka beli Lemon Water. Bukan kenapa-napa, karena alasan emotional saja.
“Semuanya 15.125 rupiah, Pak.” kata mbak tellernya. Kuambil uang pecahan 50 ribuan. Teller mulai memencet-mencet tuts keyboard, lalu keluar selembar struk. Tertulis “kembali 34.875 rupiah”. Mbak teller mengambil kembalian dari laci disusun-susun berdasarkan jenis uang. Dari receh seratusan sampai pecahan dua puluh ribuan. Aku hanya dapat kembalian 34.800 rupiah, seperti biasa. Kebiasaan yang tidak biasa, setidaknya untuk dua negara yang pernah kukunjungi, Jepang dan Singapore.
Teringat kata-kata Pak Eko dulu waktu melihat aku mengomentari uang recehan Yen yang pecahan terkecilnya adalah 1 Yen, “Uang 1 Yen itu berharga bagi orang sini.”, katanya, “Kalau orang beli sesuatu lalu kembaliannya kurang 1 Yen saja, bisa marah-marah mereka.” 1 Yen waktu itu setara dengan 80 rupiah. Begitu pula Singapore, tidak pernah kulihat uang kembalian yang diberikan lebih sedikit dari yang tertera pada struk.
Mafia, kupikir. Kalau setiap hari, pada seratus yang orang membeli di confinient store –yang tergolong kecil itu-- uang kembalian 75 rupiah tidak pernah dikembalikan, maka ada 7500 rupiah kelebihan tiap harinya. Jumlah yang tidak cukup untuk menyebutnya sebagai ketidakadilan. Mafia.
Aku berfikir kenapa tidak dibuat bulat saja harganya, jadi 15.200 rupiah, toh kembaliannya tetap sama. Aku tidak mengerti kecuali dilihat dari teori pajak: “kalau dijual 15.200 ya pajak penjualannya akan lebih besar dari jika dijual 15.125 rupiah”. Eh, bukankah produsen menjual ke confinient store dalam jumlah yang besar. Yang lebih untung justru Yomart dan kawan-kawan.
Perutku mulai mual. Sudah saatnya meninggalkan Yomart beserta struk-struk-nya yang absurd. Aku terhuyung-huyung memasuki rumah yang kelihatan ramai, kalau tidak mau dibilang kacau. Amboi, bau apa ini? Anak-anak kontrakan sedang masak-masak, nih? Rupanya pempek Palembang yang tadi pagi dikirim teman mas Yarka. Kutinggalkan ribut-ribut itu, langsung masuk kamar.
Hari-hari kututup dengan Lemon Water, struk-struk yang absurd, dan bau pempek dari teman mas Yarka. Kususun meja bacaku yang kubeli dari pasar Punclut beberapa waktu lalu, dari seorang bapak paruh baya. Lumayan, kualitasnya tidak kalah dari meja khas Ikea. Tak lupa kuhidupkan lampu baca favoritku. Cover Maryamah Karpov yang mellow membuat hujan rintik-rintik di luar terasa semakin romantis, plus dua butir coklat Van Hauten-nya mas Dibya yang dibeli dari Singapore. Ah, kawan. Hangat.
*)memasukkan desain ke chip foundry untuk dicetak dalam wafer semikonduktor jadi chip.
*)gambar confinient store : kiri - Singapore, kanan - Fukuoka